Monday 3 June 2019

Mengoptimalkan Ramadhan dengan Pembentukan Karakter Diri yang Bertaqwa

(www.informasi-pendidikan.com)

Oleh: Nabil Abdurahman

Bagi kita sebagai hamba Allah SWT, menggapai derajat ketaqwaan itu merupakan suatu tuntutan yang mesti diraih dengan seluruh potensi jiwa dan raga kita. Hal ini setidaknya dikarenakan tiga alasan utama, yaitu: pertama, karena Allah SWT telah memerintahkan kepada kita di dalam QS. Ali Imran [3]: 102 agar kita berusaha meraih ketaqwaan dengan sebenar-benar taqwa.

Kedua, Dia menegaskan di dalam QS. al-Hujurat [49]: 13 bahwa orang yang paling mulya disisi-Nya adalah orang yang dapat menggapai ketaqwaan tersebut. Suatu ketika ada seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW mengenai orang yang paling mulya, maka Beliau bersabda: “Orang yang paling mulya di antara mereka di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa..” (HR. Bukhari).

Ketiga, Dia menunjukan bahwa ketaqwaan itu merupakan sumber-sumber kebaikan, kemashlahatan dan kebahagiaan bagi hamba-Nya di dunia dan akhirat, karena dengan itu Dia akan memudahkan segala problematika hidupnya (QS. ath-Thalaaq [65]: 4), dengan cara Dia memberikan jalan-jalan keluarnya (QS. ath-Thalaaq [65]: 2), memberikan kemampuan furqan pada dirinya, yaitu dapat memilah mana yang haq dan bathil, mana yang bermanfaat dan yang bermadharat (QS. al-Anfaal [8]: 29), dan memberikan keberuntungan dan kemenangan yang sangat besar pada hidupnya, baik di dunia khusunya di akhirat (QS. al-Ahzab [33]: 70-71), seperti diantaranya dianugrahi rizki yang tanpa disangka-sangkanya (QS. ath-Thalaaq 65: 3), dihapus segala kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat sebelumnya, dilipatgandakan pahala amal perbuatannya (QS. ath-Thalaaq 65: 5), dan akan dianugrahi pahala yang sangat besar, yaitu dimasukan ke dalam surga-Nya di akhirat nanti (QS. Ali Imran [3]: 133-136).

Untuk meraih derajat ketaqwaan ini, maka kita dituntut harus membetuk diri kita dengan karakter taqwa, yaitu dengan cara: pertama, memahami secara benar tentang arti “taqwa” itu sendiri. Secara bahasa, kata “taqwa” merupakan bentuk isim (kata benda) dari kata ittaqaa-yattaqii-ittiqaa’an, artinya mengambil wiqayah (pelindung/penjaga), dan kata ini diambil dari kata waqaa-yaqii-wiqaayatan, artinya apa yang menjaga/melindungi sesuatu. Menurut Ar-Raghib al-Ashfahani “al-wiqayah” maknanya menjaga/melindungi sesuatu dari apa yang dapat menyakiti dan menyusahkannya, sedangkan “at-taqwa” bermakna menjadikan diri terjaga/terlindungi dari apa yang ditakutkan. Menurut Abu Bakar az-Zabidi, apabila dikatakan “rajulun taqiyyun” maknanya bahwa dia (laki-laki itu)  menjaga dirinya dari azab dan kemaksiaan dengan amal shaleh.

Kata “taqwa” ini dengan derivasinya disebutkan di dalam al-Qur’an sebanyak 259 kali. Dari semua itu menurut Imam Ar-Razi menunjukan makna yang beragam, yaitu: at-Tauhid seperti dalam QS. al-Hujurat [49]: 3, yakni meyakini bahwa Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya; al-ikhlash seperti dalam QS. al-Hajj [22]: 32, yakni berniat karena-Nya penuh pegharapan diterimanya ibadah; al-khauf dan khasyyah seperti dalam QS. al-Hajj [22]: 1, yakni rasa takut disertai dengan rasa pengagungan, ketundukan dan perendahan diri kepada-Nya; al-‘ibadah seperti dalam QS. an-Nahl [16]: 2, yakni beribadah hanya kepada-Nya; ath-Tha’ah seperti dalam QS. an-Nahl [16]: 52, yakni taat hanya kepada perintah-Nya semata; tarku al-ma’shiyah seperti dalam QS. al-Baqarah [2]: 189, yakni meninggalkan segala kemaksiatan yang dilarang oleh-Nya; dan at-Taubah seperti dalam QS. al-A’raaf: 96, yakni meninggalkan perbuatan dosa dikarenakan takut kepada Allah SWT dan menganggapnya buruk, dengan disertai penyesalan atas perbuatan tersebut dan tekad kuat untuk tidak mengulanginya lagi dan akan memperbaikinya.

Kedua, menempa diri kita dengan keimanan yang kuat dan terus meningkat kepada Allah SWT dalam ruang lingkup ketauhidan, keikhlasan dan al-khauf tersebut, yaitu dengan cara meyakini-Nya dengan sepenuh hati, mengaktualisasikannya dengan lisan dalam bentuk ucapan, dan dengan seluruh anggota badan dalam bentuk perbuatan. Rasulullah SAW bersabda: "Orang yang paling sempurna imannya itu adalah yang paling baik akhlak/karakternya". Ini mengisyaratkan bahwa kalau kita ingin memiliki karakter yang paling baik, maka keimanan kita haruslah sempurna. Dan karakter paling baik itu adalah karakter taqwa, lalu keimanan itu akan mencapai derajat kesempurnaannya apabila terus ditingkatkan dengan mengoptimalkan peran hati, lisan dan anggota badan dalam melaksanakan ketaatan kepada-Nya. Jadi keimanan ini merupakan komponen utama diantara komponen-komponen dalam membentuk karakter diri yang bertaqwa (QS. al-Baqarah [2]: 183).

Ketiga: menempa diri kita dengan program-program perintah dan larangan Allah SWT dalam ruang lingkup al-‘ibadah, ath-Tha’ah dan tarku al-ma’shiyah tersebut secara baik, benar dan kontinu, dengan memperhatikan dua unsur utama sebagai syarat keberhasilannya, yaitu unsur kognitif, yang terfokus pada penggodogan diri dengan pemahaman-pemahaman materi-materi pengetahuan dari al-Qur'an, Hadits dan penjelasan-penjelasan para ulama tentang ragam perintah dan larangan-Nya tersebut. Lalu unsur psikomotorik yang berupa pelaksanaan ragam ibadah dalam pengertian yang luas, baik yang mahdhah seperti pelaksanaan puasa itu sendiri, shalat, do'a, dzikir dan i'tikaf; maupun yang ghair mahdhah seperti berzakat, infak dan shadaqah, serta ibadah-ibadah yang mengandung unsur kegembiraan hati, kebersamaan dan syi'ar Islam diantara agama lain seperti bertakbir di malam menjelang ‘idul fitri.

Sebagai outputnya, apabila kedua unsur itu dijalankan dengan baik, benar dan kontinu maka kita akan mendapatkan unsur afektif, yaitu berupa terbentuknya komponen-komponen lainnya dalam membentuk karakter diri kita yang bertaqwa. Dari proses unsur kognitif tersebut akan didapatkan satu komponen karakter taqwa, yaitu karakter diri kita yang selalu haus mencari dan mendalami berbagai macam ilmu sebagai bekal di dalam menjalakan kehidupan kita sehari-hari agar selamat di dunia dan akhirat. Hal ini sebagaimana yang dapat kita fahami dari penggalan akhir QS. al-Baqarah [2]: 184, yaitu kalimat "in kuntum ta'lamun" (jika kalian mengetahui).

Sedangkan dari unsur psikomotorik akan kita dapakatkan dua komponen karakter taqwa, yaitu dari ibadah mahdhah yang dalam proses pelaksanaan ibadahnya menekankan pendekatan diri dan hubungan langsung dengan Allah SWT (waidzaa sa’alaka 'ibaadii 'annii fa innii qariibun), maka akan didapatkan karakter diri yang selalu memilih jalur kebenaran dalam hidup (la'allahum yarsyudun), yang hatinya selalu merasa dekat dan berhubungan dengan-Nya (QS. al-Baqarah [2]: 186).

Sedangkan dari ibadah ghair mahdhah yang dalam proses pelaksanaan ibadahnya ada unsur melibatkan sesama makhluk-Nya, maka itu diarahkan agar terbentuk karakter diri yang selalu bersyukur (la'allakum tasykurun) akan kenikmatan, kegembiraan, kebersamaan dan terlaksananya syi'ar Islam tersebut, serta terjaganya hubungan baik antar sesama (QS. al-Baqarah [2]: 185).

Akhirnya, apabila semua komponen-komponen karakter taqwa tersebut sudah terbentuk di dalam diri kita, maka kita sudah pantas dikategorikan orang yang berkarakter taqwa, dan layak mendapatkan sumber-sumber kebaikan, kemashlahatan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat sebagaimana yang telah dijanjikan oleh Allah SWT. Wallahu A’lam bisshawab.

1 comment: