Wednesday 26 June 2019

Mentafakuri Penciptaan Alam Semesta Dan Pergantian Siang Dan Malam Melalui Tadabur Al-Qur’an

(spaceinfo.com.au)
(spaceinfo.com.au)

Oleh: Nabil Abdurahman


A. Pendahuluan

Secara global al-Qur’an telah mendorong manusia untuk mengenal Allah swt melalui dua cara, yaitu: melaui tadabbur dan tafakkur.

Antara tadabbur dan tafakkur ini dari segi bahasa hampir memiliki kesamaan arti, yaitu keduanya berkaitan dengan merenungkan dan memikirkan sesuatu hal, bedanya hanya kalau tadabbur itu merenungkan suatu hal untuk melihat akibat-akibatnya, sedangkan tafakkur dalam perenungannya lebih difokuskan kepada penelitian dalil-dalil, tanda-tanda atau indikator-indikator tentang suatu hal.

Imam Al-Ghazali mendefinisikan  di dalam Ihya Ulumuddin bahwa tafakkur adalah menghadirkan dua makrifat (pengetahuan) yang terdahulu (sudah diketahui) untuk sampai pada makrifat yang ke-3. Contohnya ketika seseorang ingin mengetahui mana yang lebih baik antara dunia dan akhirat, maka metode tafakkur yang harus ditempuhnya adalah dengan mengetahui dulu bahwa yang kekal lebih baik dan utama daripada yang tidak, lalu dia mengetahui bahwa akhirat lebih kekal daripada dunia. Maka dari dua premis (pengetahuan dasar) tersebut muncullah pengetahuan ketiga, yaitu bahwa akhirat lebih baik daripada dunia, karena akhiratlah yang kekal daripada dunia.

Tetapi kalau kita teliti dari penggunaan lafadz “tadabbur” dan “tafakkur” ini di dalam ayat-ayat al-Qur’an, maka akan kita dapati bahwa lafadz “tadabbur” sering disandingkan dengan lafadz al-Qur’an seperti dalam QS. 4: 82, 47: 24, sedangkan lafadz “tafakkur” sering disandingkan dengan gambaran ciptaan-ciptaan Allah, seperti pada ayat pembahasan kita kali ini.

Maka dapat disimpulkan bahwa:
Tadabbur itu berkaitan dengan ayat-ayat qauliyah, yaitu dengan cara membaca, menela’ah dan memahami secara optimal wahyu Allah berupa al-Qur’an lalu diikuti sunnah yang shahih (lih. QS. 53: 4). Maka melalui cara ini muncullah istilah “Dalil Naqli”.

Sedangkan tafakkur berkaitan dengan ayat-ayat kauniyah, yaitu merenungi dengan melihat, menganalisa, meyakini secara pasti tanda-tanda ke-Maha Kuasaan Allah dalam menciptakan, mengatur dan membinasakan alam semesta beserta seisinya, juga manfaat-manfaatnya, berdasarkan akal pikiran dan perasaan atau hati yang suci dan lurus, sehingga menghasilkan sebuah keyakinan yang mendalam bahwa hanya Allah Swt. saja dzat satu-satunya yang menciptakan semua itu sehingga Dia-lah satu-satunya ilah yang berhak untuk disembah, ditakuti dan ditaati. Maka dari cara ini munculah istilah “Dalil Aqli”.

Tafakkur terbagi kedalam dua macam, yaitu sbb:

1. Tafakkur mutlaq ialah memikirkan tentang ciptaan Allah tanpa ada pembatas. Hal ini dikarenakan perintah Allah dalam Al-Qur'an dengan menggunakan fi'il (kata kerja) yang lazim (Fi’il yg tidak sampai kepada Maf’ul (obyek) kecuali perantara Huruf Jar atau perantara Huruf ta’diyah lainnya), sehingga dalam permasalahan disini bisa dikatakan tafakur yang tidak membutuhkan maf'ul, seperti firmanNya:

...كَذَلِكَ نُفَصِّلُ الْآَيَاتِ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

Artinya: “…Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang berfikir". (QS. 10/Yunus: 24).

2. Tafakkur muqoyyad ialah memikirkan sesuatu yang ada di alam semesta ini, tetapi pemikiran tersebut diberi batasan-batasan oleh Allah sesuai dengan firmanNya, dan Al-qur'an menyebutkannya dengan menggunakan fi'il (kata kerja) yang muta'adi (Fi’il yg sampai kepada Maf’ul tanpa perantara Huruf Jar atau Huruf ta’diyah lainnya). Dalam hal ini obyek sangat berperan sekali dalam menentukan sesuatu yang akan dijadikan sebuah tafakur oleh seorang hamba, seperti firman-Nya:

...وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ...

Artinya: “…Dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi..". (QS. 3/Al-Imron: 191).

Objek bertafakkur haruslah ciptaan Allah (makhluq-Nya), bukan zat-Nya, karena aqal manusia tidak akan mampu untuk memikirkan zat-Nya, sebab aqal tersebut diciptakan oleh-Nya dengan batasan tertentu. Dalam sebuah hadits dari Abu Syaikh dari Ibnu Abbas ditegaskan:

تفكروا في الخلق، ولا تفكروا في الخالق، فَإِنَّكُمْ لَنْ تَقْدِرُوْا قَدْرَهُ

Artinya: “Berpikirlah tentang makhluk (ciptaan Allah) dan janganlah memikirkan (dzat) Sang Pencipta, karena kalian tidak mungkin akan mampu memperhitungkan kadarnya”. (Jami’u Al-ahaadiits, As-Suyuthi)

Dalam suatu riwayat diceritakan bahwa ada seseorang yang pernah bertanya kepada Imam Malik Bin Anas tetang istwa (bersemayamnya) Allah swt di atas Arasy. Maka Imam Malik menjawab:

الاستواء معلوم، والكيفية غير معلوم، والإيمان به واجب، والسؤال عنه بدعة

“Istiwa itu telah diketahui maknanya, tetapi bagaimana caranya tidak diketahui, mengimaninya adalah wajib, dan bertanya tentangnya adalah bid’ah.

Syekh Sa’id Bin Wahf al-Qahthan menjelaskan di dalam kitab “Syarhu Aqidatil Wasathiyyah” bahwa yang harus kita lakukan berkaitan dengan dalil-dalil/ayat-ayat yang memaparkan tentang Dzat atau Sifat Allah swt ialah mengimani dan menetapkannya tanpa takwil, takyif (bertanya ttg caranya), ta’thil (menolak sebagian atau seluruhnya),  dan tamtsil (menyetarakan dengan dzat atau sifat makhluk).

Maka bertafakur tentang makhluk cintaan Allah itu merupakan perbuatan yang diperintahkan oleh agama dan ditujukan bagi mereka yang memilki pengetahuan tentang makhluk tsb, termasuk fenomena alam semesta.

Adapaun manfaat dari bertafakkur menurut beberapa ulama adalah sbb:

1. Dapat menumbuhkan rasa takut kepada Allah di dalam hati dan menghilangkan   kelalaian dalam ibadah (Ibnu Abbas).

2. Dapat mengubah dari kelalaian menuju kesadaran,  dari hal-hal yanh dibenci Allah menuju hal-hal yang dicintai-Nya, dari ambisi dan keserakahan menuju zuhud dan qana’ah, dari penjara dunia menuju keluasan akhirat, dari kesempitan kebodohan menuju keluasan ilmu pengetahuan, dari bencana buta, tuli dan bisu menuju nikmat penglihatan, pendengaran dan pemahaman tentang Allah, dan dari berbagai penyakit syubhat (bimbang) menuju keyakinan yang menyejukan hati dan keimanan yang menentramkan. (Miftah Daris Sa’adah: 226)


B. Pembahasan Kandungan Ayat

Allah swt berfirman di dalam QS. Ali Imran [3]: 190-191

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآَيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ (190) الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ (191)

Artinya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”.

Sabab nuzul ayat: Dari Ibnu Abbas ra mengatakan: “Bahwa orang-orang Quraisy mendatangi kaum Yahudi dan berkata: "Bukti-bukti kebenaran apakah yang dibawa Musa kepadamu?" Pertanyaan itu dijawab: "Tongkatnya dan tangannya yang putih bersinar bagi yang memandangnya". Sesudah itu mereka pergi mendatangi kaum Nasrani dan berkata: "Bagaimana halnya Isa?" Pertanyaan itu dijawab: "Isa itu menyembuhkan mata yang buta sejak lahir dan penyakit sopak serta menghidupkan orang yang sudah mati". Selanjutnya mereka mendatangi Rasulullah saw dan berkata: "Mintalah dari Tuhanmu supaya bukti Safa' itu jadi emas untuk kami". Maka berdoalah Nabi Muhammad saw kepada Allah dan turunlah ayat 190 dari surat Ali Imran. Maka hendaklah mereka merenungkannya”. (HR. Thabrani dan Ibnu Abi Hatim)

Allah Swt. melalui ayat-ayat qauliyah-Nya (al-Qur’an) mengajak orang-orang yang berakal agar mentafakuri ayat-ayat kauniyah-Nya (ciptaan-Nya). Diantaranya adalah sebagaimana tertera di dalam QS. Ali Imran [3]: 190-191, yaitu:

1. Mentafakuri proses penciptaan langit dan bumi, pengaturan dan manfaatnya bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya.

2. Mentafakuri adanya pergantian malam dan siang dan manfaatnya bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya.

Orang berakal yang dapat meneriama ajakan Allah tersebut adalah ulul albab, yaitu orang-orang berakal yang beriman dengan selalu berdzikir atau beribadah kepada Allah dalam situasi dan kondisi apapun, senang bertafakur dan banyak berdo’a kepada-Nya agar diampuni segala dosa-dosa, dihapus kesalahan-kesalahan dan dipelihara dari api neraka. Sehingga dengan tafakurnya tersebut mereka menjadi bertambah kuat imannya dan semakin lurus pemikirannya, karena mereka dapat sampai pada bukti yang sangat nyata tentang keesaan dan kekuasaan-Nya.

Sebaliknya orang-orang berakal yang tidak beriman ketika disodorkan ajakan Allah  untuk bertafakur tersebut, maka mereka tidak menerimanya atau berpaling darinya, sehingga mereka tidak dapat menyadari kedatangan kiamat yang akan datang secara mendadak (lih: QS. 12: 105-107).

Maka ulul albab (orang yang sempurna akalnya) akan selalu mengoreksi dirinya dari kesalahan-kesalahan dan kekurangan-kekurangan, dan bersedia beramal dengan cara dzikir dan fikir sebagai bekal setelah mati. Sedangkan sebaliknya (orang yang rendah akalnya) adalah yang selalu menurutkan hawa nafsunya dengan berpaling dari dzikir dan fikir dan ia mengharapkan berbagai angan-angan kepada Allah (lih. HR. Tirmidzi dari Abi Ya’la).

I. Mentafakuri proses penciptaan langit dan bumi, pengaturan dan manfaatnya bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya

Kata [khalq] dalam QS. Ali Imran [3]: 190 yang diterjemahkan dengan penciptaan dapat juga berarti pengukuran yang teliti atau pengaturan. Karena itu, di samping makna di atas, ia juga dapat berarti pengaturan sistem kerjanya yang sangat teliti.

Yang dimaksud dengan [as-samaa] adalah benda-benda angkasa seperti matahari, bulan, dan jutaaan gugusan bintang-bintang yang kesemuanya beredar dengan sangat teliti dan teratur.

Konsep penciptaan langit, bumi beserta seluruh isinya berdasarkan petunjuk al-Qur’an adalah sbb:

Al Qur’an menuntun logika kita bahwa awal terciptanya langit dan bumi adalah ketika Allah menggunakan Frase kata “kun” (jadilah) “fayakun” (maka jadilah ia). Frase ini digunakan juga pada penciptaan Adam dan Isa, serta penciptaan lainnya yang dikehendaki Allah. Hal ini sebagaimana tercantum pada 8 ayat al-Qur’an, yaitu QS. 2:117, 3: 47, 3: 59, 6: 73, 16: 40, 19: 35 6: 82, dan 40: 68.

Pada awal mula penciptaan, keadaan bumi dan langit itu adalah satu kesatuan, terikat satu sama lain dan bertumpuk satu diatas yang lainnya dalam bentuk dukhon (asap/kabut), kemudian Allah memisahkan satu sama lain dengan udara, dan menjadikan langit itu tujuh dan bumi itu tujuh (lih. QS. 21: 30 & 41: 11).

Setelah langit dan bumi yang belum terbentuk tersebut terpisah, maka dibentuklah langit, bumi beserta unsur-unsurnya dengan urutan sebagai berikut (lih: 41:  9-12, 79: 27-33, 2: 29 & 13: 2-3):

1. Allah menciptakan (membentuk) bumi, tanpa unsur-unsurnya, pertama kali dalam dua hari/masa.

2. Kemudian Allah meninggikan langit dan membentuknya menjadi 7 langit dalam dua hari/masa lagi, sehingga terbentuk juga adanya malam dan siang (dimulainya adanya perhitungan waktu dunia yang dipakai oleh manusia).

3. Kemudian Dia membentangkan bumi, dengan menjadikan sunggai-sungai, tumbuh-tumbuhan, gunung-gunung, hewan-hewan dan semua perlengkapan yang dibutuhkan manusia dalam waktu dua hari/masa lagi (lih. QS. 13: 3). (jmlh semuanya = 6 hari/masa).

4. Setelah proses penciptaan (pembentukan) bumi, langit beserta unsur-unsur yang dibutuhkan manusia selama 6 hari/masa (lih. QS. 7: 54, 10: 3, 11: 7), barulah manusia (Adam) diciptakan (lih. QS. 2: 29-36).

* Pengertian “yaum” dalam proses penciptaan alam semesta

Mengenai ukuran waktu yang digunakan al-Qur’an dalam setiap fase penciptaan jagat raya dengan menggunakan lafadz “yaum”  yang secara makna dzahirnya adalah “hari”, ini harus ditadabburi, sehingga tidak salah dalam memahami maksud yang sebenarnya. Karena dalam al-qur’an lafadz “yaum” dengan jamaknya “ayyaam” tidak selalu bermakna hari yang berdurasi 24 jam, tetapi bermakna sbb:

1. Waktu yang tak dibatasi secara jelas (“kulla yaumin” = setiap waktu (QS. 55: 29).
2. Masa yang abadi dan tak terhingga (“yaumu ad-diin” = hari pembalasan) (QS. 1: 4).
3. Ukuran waktu yang sama dengan 50.000 tahun (fii yaumin kana miqdaruhu khomsina alfa sanah) (QS. 70: 4).
4. Ukuran waktu yang sama dengan 1000 tahun (fii yaumin kana miqdaruhu alfa sanah) (QS. 32: 5).
5. Ukuran waktu untuk masa hidup seseorang di alam dunia (in labitstum illa yauma = kamu tidak berdiam (di dunia) kecuali hanya sehari saja) (QS. 20: 104).
6. Masa tertentu untuk menunjukan suatu peristiwa (wadzakkirhum bi ayyamillah = dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah) (QS. 14: 5).

* Fase dari penciptaan (pembentukan) bumi, langit beserta unsur-unsur keduanya ke penciptaan Adam (manusia pertama)

Berbicara mengenai fase ini, kita tidak bisa lepas dari QS. Al-baqarah: 30, yang artinya:“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah,…”

Para Mufassir dalam menafsirkan perkataan malaikat ini secara umum teragi dua, yaitu sbb:

1. Bahwa para malaikat memiliki ilmu khusus, yang mana dengan ilmunya itu mereka dapat memprediksi watak diantara jenis manusia, yaitu watak suka membuat kerusakan dan menumpahkan darah, walaupun baru hanya diberitahukan mengenai bahan yang akan dipakai untuk menciptakan Adam, yaitu dari tanah liat kering yang berasal dari lumpur hitam tersebut. (Ar-Razi, Al-Qurthubi, dll)

2. Bahwa para malaikat mengqiaskan manusia dengan bangsa Jin yang telah diciptakan sebelumnya dan hidup di bumi, dimana mereka pada saat itu banyak menimbulkan kerusakan dan pertumpahan darah di bumi (Ath-Thabari, Ad-Dahhak, Ibnu Abbas dll).

Dari pendapat kedua inilah memunculkan pemahaman bahwa ada rentang waktu yang sangat lama dari selesainya penciptaan (pembentukan) bumi, langit beserta unsur-unsur keduanya ke memulainya penciptaan Adam (manusia pertama), dan dalam hal ini ada yang berpendapat 2000 tahun lamanya (Mujahid dan Abdullah Ibnu Umar), ada juga yang berpendapat milyaran tahun.

Disamping itu juga, pendapat ke-2 ini memunculkan pemahaman adanya makhluk lain sebelum manusia yang mendiami bumi, yaitu sebagaimana menurut sebagian riwayat sbb:

1. Bangsa al-binn (bangsa jin penguasa muka bumi pertama yang diciptakan dari gabungan unsur halilintar dan asap).
2. Bangsa al-bann (bangsa jin penguasa muka bumi ke-2 yang sebelumnya penguasa lautan raya)
3. Bangsa Jann (bangsa jin penguasa muka bumi ke-3 yang diciptakan dari api)
4. Bangsa Nahabir dan Nahamir (bangsa jin penguasa muka bumi terakhir)
II. Mentafakuri adanya pergantian malam dan siang, dan manfaatnya bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya

Setelah langit, bumi beserta isinya terbentuk, maka Allah mengatur benda-benda angkasa seperti matahari, bulan, dan jutaaan galaksi beredar dengan sangat teliti dan teratur sesuai dengan kehendak dan ketetapan-Nya (lih. QS. 7: 54).

Dengan diaturnya dua diantara benda langit, yaitu matahari berjalan ditempat peredarannya, bulan berputar mengelilingi bumi mengikuti manzilah-manzilahnya, maka memunculkan keadaan dibumi menjadi dua bagian: malam dan siang yang silih berganti (lih. 36: 37-40, 21: 33, 13: 2).

Diantara tujuan Allah atau hikmah dan manfaat yang bisa diambil oleh manusia  dari adanya malam dan siang adalah sbb:

1. Manusia dapat beristirahat pada malam hari yang gelap dan beraktifitas pada siang hari yang terang oleh cahaya matahari (lih. QS. 27: 86, 78: 10-11).
2. Manusia dapat mengetahui perhitungan waktu, tahun dan memperhitungkannya (hisab) (lih. QS. 10: 5-6 dan 17: 12).
3. Umat Islam dapat menentukan waktu ibadah-ibadah, diantaranya:
1) Waktu shalat 5 waktu dikaitkan dengan 3 sebab waktu fardhu: duluk asy-syams (tergelincir matahari), ghasaq al-lail (gelap malam) dan qur’an al-fajr (bacaan diwaktu fajar) (lih. QS. 17: 78).
2) Memulai berpuasa dan berbukanya, yaitu dari mulai terbit fajar sampai terbenamnya matahari.
3) Menentukan miqat zamani (batas waktu) untuk haji, yaitu tanggal 1 syawal-10 Dzulhijjah (lih. QS. 2: 197).

Daftar Pustaka

القرآن الكريم وترجمته
تفسير القرآن العظيم لإسماعيل بن عمر بن كثير
التفسير المنير في العقيدة والشريعة والمنهج للدكتور وهبة بن مصطفى الزحيلي
التفسير الجلالين لجلال الدين المحلى وجلال الدين السيوطي
التفسير الوجيز للدكتور وهبة بن مصطفى الزحيلي
أسباب النزول لأبي الحسن النيسابوري
الإعراب المفصل لكتاب الله المرتل لبجت عبد الواحد صالح
المعجم الموضوعي لآيات القرآن الكريم
رياض الصالحين للنووي
الحكام لابن عطاء الله

No comments:

Post a Comment