Monday 8 July 2019

Pentingnya Penguatan Pelajaran Agama di Sekolah (Tanggapan Terhadap Wacana Penghapusan Pelajaran Agama)

(https://nusantaranews.com) 

Oleh: Nabil Abdurahman
Beberapa hari ini, jagat media diramaikan lagi oleh beredarnya pernyataan Setyono Djuandi Darmono yang dimuat oleh situs www. jpnn.com dengan judul: "Pendidikan Agama Tidak Perlu Diajarkan Di Sekolah" . Lalu situs fajar.co.id mengutipnya dengan memberikan judul: "Sarankan Jokowi Hapus Pendidikan Agama, Darmono: Identitas Agama Picu Radikalisme". Pernyataanya ini disampaikan pada hari Kamis, 04 Juli 2019 di Jakarta sesaat setelah dia menggelar acara bedah bukunya berjudul " Bringing Civilization Together".

Setyono Djuandi Darmono mengatakan bahwa pendidikan agama tidak perlu diajarkan di sekolah. Agama cukup diajarkan orangtua masing-masing atau lewat guru agama di luar sekolah. “Mengapa agama sering menjadi alat politik? Karena agama dimasukkan dalam kurikulum pendidikan. Di sekolah, siswa dibedakan ketika menerima mata pelajaran (mapel) agama. Akhirnya mereka merasa kalau mereka itu berbeda. Siswa harus diajarkan kalau mereka itu hidup di tengah keanekaragaman. Namun, keanekaragaman dan nilai-nilai budaya itu yang menyatukan bangsa ini, bukan agama". Lebih lanjut dia memandang bahwa jikalau agama yang dijadikan identitas, justru akan memicu radikalisme. Ketika bangsa Indonesia hancur karena radikalisme, belum tentu negara tetangga yang seagama bisa menerima.

Munculnya wacana seputar penghapusan mapel agama ini  bukanlah pertama kali ini saja, tetapi sudah berulang, walaupun setelah dikonfirmasi kepada beberapa tokoh yang disinyalir pernah mengeluarkan pernyataan seputar wacana itu mereka membantahnya dan mengklaimnya bahwa itu  berita hoax.

Diantara tokoh tersebut misalnya Musdah Mulia, seorang tokoh perempuan dari Eksekutif Megawati Intitute yang disinyalir pernah mengeluarkan pernyataan seputar wacana ini di halaman facebooknya pada tahun 2017, sebagaimana yang di muat di situs www.sinarpagiindonesia.com dan www.kabarmakkah.com. Pada tahun yang sama juga viral berita yang dinyatakan hoax bahwa Menteri Pendidikan Muhajir Effendi akan menghapus pelajaran agama di sekolah (www.tribunnews.com). Kemudian pada Maret 2019 belum lama ini juga viral video ibu-ibu yang menyatakan jika Jokowi memenangi Pilpres 2019 maka pelajaran agama akan dihapus, dan ini juga dinyatakan fitnah. Itu semua dianggap menyebarkan hoax.

Berulangnya kemunculan wacana penghapusan pendidikan agama ini, walaupun sebagiannya dinyatakan hoax, secara umum dikarenakan adanya pihak-pihak di republik ini yang terindikasi memiliki pola pikir dan pandangan sekuler yang ekstrim, yang menganggap bahwa agama itu sebagai faktor pemicu radikalisme dan disintegrasi serta penyebab keterbelakangan suatu bangsa.

Pemikiran, pandangan dan anggapan seperti itu tentu mengundang reaksi dari berbagai pihak, karena hal itu tidaklah sesuai dengan realita dan fakta. Diantara tokoh yang bereaksi tersebut misalnya Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Ustadz Abdul Muti, menegaskan bahwa munculnya radikalisme itu bukan karena pendidikan agama, tetapi karena faktor-faktor yang kompleks, baik politik, ekonomi, maupun dunia global. Jika memang ada persoalan pada pendidikan agama di sekolah, solusinya bukan menghapus melainkan memperbaiki kurikulum dan metode pendidikannya. 

Wakil Ketua Komisi Hukum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Anton Tabah Digdoyo, menanggapinya lebih keras lagi, beliau memandang bahwa orang atau kelompok yang mengusulkan wacana seperti itu perlu diwaspadai sebagai pendukung paham komunisme. Mereka jelas-jelas tidak memahami bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa seperti yang tercantum dalam Pasal 29 UUD 1945, dan bukan negara sekuler (www.rmoljabar.co).

Ada juga Dirjen Pendidikan Islam Kemenag, Kamaruddin Amin, membantah wacana tersebut dengan menyampaikan sebuah data faktual, yaitu bahwa faktanya "Di negara sekuler seperti Inggris dan sejumlah negara Eropa Barat saja, bahkan pelajaran agama wajib di sekolah, baik di sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah (public schools), apalagi di sekolah yang diselenggarakan oleh gereja (faith based schools)" (https://nasional.sindonews.com). 

Dalam hal ini, saya sebagai bagian dari warga negara yang beragama dan mencintai tanah air dan bangsa, dan sebagai seorang pengajar yang memiliki tanggung jawab terhadap anak didik, juga selaku orang tua yang memiliki kewajiban untuk mendidik anak, merasa terusik juga dengan kemunculan wacana penghapusan pendidikan agama yang terus berulang ini.

Untuk itu, saya akan memfokuskan tanggapan saya terhadap wacana ini dengan mengalihkan perhatian pada sisi arti penting penguatan pelajaran agama di sekolah ditinjau dari aspek hasil penelitian ilmiah, historis, konstitusi dan ajaran agama-agama yang diakui di negara Indonesia, yang sekaligus membantah dengan fakta-fakta bahwa ajaran agama itu sumber konflik. Sehingga semua aspek tersebut merupakan pemaparan data faktual yang berkaitan dengan wacana ini yang sesuai dengan realita dan tidak terbantahkan.


A. Arti penting penguatan pelajaran agama di sekolah dari aspek kajian ilmiah

Jikalau kita merujuk pada kajian ilmiah, maka wacana penghapusan pelajaran agama di sekolah ini termasuk kategori wacana usang yang dinilai tidak sesuai dengan kemajuan zaman. Karena pada masa sekarang ini, dalam dunia pendidikan umum sudah dikenal dengan istilah "Spiritual Quotient (SQ)" atau "kecerdasan spiritual" sebagai faktor terpenting dalam mengukur kesuksesan anak manusia. Dan kecerdasan ini sudah mulai diterapkan dan dimasukkan dalam kurikulum-kurikulum di Barat sejak awal tahun 2000-an. Jadi, jikalau ada pihak yang mendesak pemerintah Indonesia agar menghapus pendidikan agama di sekolah, secara tidak langsung dia menginginkan pendidikan kita menganut faham/madzhab yang sudah usang.

Bahkan Martin Seligman, seorang tokoh yang bergelut dalam dunia psikologi di Amerika Serikat, menyatakan bahwa salah satu faktor kebahagiaan itu adalah agama dan religiusitas. Dan pernyataan ini sedikit banyak terkonfirmasi oleh beberapa survei. Di antaranya Gallup tahun 2019 yang mensurvei 150 ribu responden dari 140 negara menyimpulkan bahwa orang Indonesia menjadi orang paling bahagia ke-5 di dunia (H. Sukamta, PhD:www.waktoe.com).

Berikut ini adalah diantara pendapat para ahli seputar definisi dan arti penting Spiritual Quotient (SQ) ini bagi manusia:

1. Menurut Stephen R. Covey, kecerdasan spiritual (SQ) merupakan pusat paling mendasar di antara kecerdasan yang lain, karena dia menjadi sumber bimbingan bagi kecerdasan lainnya. Kecerdasan spiritual mewakili kerinduan akan makna dan hubungan dengan yang tak terbatas. SQ menjadi kemampuan paling dasar dari semua kecerdasan yang ada (Stephen Covey, 2004).

2. Penemu SQ bernama Danah Zohar dan Ian Marshall, memandang bahwa SQ sebagai suatu keperluan penting yang dimiliki oleh para hambat Tuhan untuk dapat berhubungan dengan Tuhannya. Juga merupakan suatu kemampuan untuk menghidupkan kebenaran yang paling dalam, yaitu mewujudkan hal yang terbaik, utuh dan paling manusiawi dari dalam batin. Selain itu SQ juga merupakan gagasan, energi, nilai, visi, dorongan dan arah panggilan hidup bersama cinta.

3. Mimi Doe & Marsha Walch menyimpulkan bahwa spiritual adalah dasar bagi tumbuhnya harga diri, nilai-nilai, moral, dan rasa memiliki. Ia memberi arah dan arti bagi kehidupan kita tentang kepercayaan mengenai adanya kekuatan non fisik yang lebih besar dari pada kekuatan diri kita; Suatu kesadaran yang menghubungkan kita langsung dengan Tuhan, atau apa pun yang kita namakan sebagai sumber keberadaan kita (Bandung: Kaifa, 2001).

4. Menurut Tony Buzan kecerdasan spiritual adalah yang berkaitan dengan menjadi bagian dari rancangan segala sesuatu yang lebih besar, meliputi “melihat suatu gambaran secara menyeluruh”. Hal ini sebada dengan, Cindy Wigglesworth mencoba merumuskan 21 aspek SQ dan menggolongkannya ke dalam 4 kuadran, diantaranya yaitu: Universal Awareness (kemampuan memahami kompleksitas diri sendiri dan kaitannya dengan lingkungan universal/realitas non-materi, Ego self Mastery (kemampuan pengendalian diri secara transenden dan spiritual) dan Spiritual Presence (kemampuan berlaku efektif dan membawa pengaruh spirit terhadap lingkungannya).

5. Viktor Frank-Psikolog menyatakan bahwa SQ adalah bukti ilmiah, ini nyata ketika kami merasakan keamanan (Secure), kedamaian (peace), penuh cinta (love) dan bahagia (happy), ketika dibedakan dalam suatu kondisi yang dirasakan tidak aman, tidak bahagia dan tidak cinta (Paul Edwards). SQ adalah pencarian manusia akan makna hidup dan merupakan motivasi utama dalam hidupnya. Kearifan spiritual adalah sikap hidup arif dan bijak secara spiritual yang cenderung mengisi lembaran hidup kita menjadi lebih bermakna dan bijak, bisa menyikapi segala sesuatu secara lebih jernih dan benar sesuai hati nuraninya, itulah kecerdasan spiritual.

6. Lima karakteristik orang yang cerdas secara spiritual menurut Roberts A. Emmons yaitu: kemampuan untuk mentransendensikan  yang  fisik dan  material, kemampuan untuk mengalami tingkat kesadaran yang memuncak, kemampuan untuk mensakralkan pengalaman sehari-hari, kemampuan untuk menggunakan sumber-sumber spiritual untuk menyelesaikan masalah, dan kemampuan untuk berbuat baik ((dalam Juita), The Psychology of Ultimate Concerns). 

Dalam khazanah ilmu-ilmu sosial modern, agama ternyata tidak dikaitkan dengan konflik, melainkan lebih kepada integrasi dan harmoni. Emile Durkheim salah seorang perintis ilmu sosiologi modern abad ke-19 berdasarkan penelitian yang ditulisnya dalam The Elemenatry Form s of The Religious Life (1912) menemukan hakikat agama pada fungsinya sebagai sumber dan pembentuk solidaritas mekanis. Ia beranggapan bahwa agama adalah suatu pranata yang dibutuhkan oleh masyarakat untuk mengikat individu menjadi satu kesatuan melalui system kepercayaan dan ritus. Lewat symbol-simbol yang sifatnya suci, agama mengikat orang-orang ke dalam berbagai kelompok masyarakat. Singkatnya dapat dikatakan dalam sebuah masyarakat dapat dipastikan terdapat nilai-nilai yang dikuduskan (disakralkan), yang dikuduskan mengkondisikan anggota masyarakat untuk tunduk. Klasifikasi yang kudus dan yang profane demikan sentral dalam masyarakat beragama. Di dalam masyarakat Hindu misalnya klasifikasi tidak ditentukan berdasarkan kekuatan ekonomi, melainkan pada tindakan kekeramatan atau kesucian tiap-tiap orang, begitu juga dalam Islam, ketakwaan seseoranglah yang menentukan ketinggian derajatnya di sisi Tuhan.

Lebih lanjut,  E.K. Nottingham (1985) menegaskan bahwa secara, umum, peran agama dalam kehidupan manusia dapat dilihat dari dua aspek. Pertama adalah aspek konatif (conative aspects). Aspek ini berkaitan dengan kemampuan agama dalam menyediakan sarana kepada masyarakat dan anggota-anggotanya untuk membantu mereka menyelesaikan berbagai persoalan kehidupan. Kedua, aspek yang bersifat kognitif (cognitive aspects). Aspek ini terkait dengan peranan agama dalam menetapkan kerangka makna yang dipakai oleh manusia dalam menafsirkan secara moral berbagai kesukaran dan keberhasilan pribadi mereka; juga sejarah masyarakat mereka di masa yang silam dan keadaannya di masa kini.

Berikut ini adalah diantara pendapat para ahli seputar arti penting agama bagi penguatan moral dalam mengatur perilaku masyarakat manusia agar penuh dengan rasa cinta, damai, jauh dari konflik dan permusuhan, juga sebagai sumber motivasi dan inspirasi dalam menjalankan kehidupan duniawinya guna mencapai peradaban yang maju, bukan sebaliknya:

1. Paul B. Horton dan Chester L. Hunt (dalam M. Zainuddin, 2007) menyatakan bahwa semua agama besar menekankan kebajikan seperti kejujuran dan cinta sesama. Kebajikan seperti ini sangat penting bagi keteraturan perilaku masyarakat manusia, dan agama membantu manusia untuk memandang serius kebajikan seperti itu.

2. Christopler Dowson mengatakan bahwa agama-agama besar adalah bangunan dasar bagi peradaban-peradaban besar.

3. Prof. Dr. Alexis Carrel seorang sarjana Amerika penerima hadiah nobel 1948 menegaskan bahwa “moral dapat digali dan diperoleh dalam agama, karena agama adalah sumber moral paling teguh. Nabi Muhammad Saw di utus tidak lain juga untuk membawa misi moral, yaitu untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”

4. Charles Y Glock & Rodney Stark (Religion & Society, 1966) memandang bahwa keberagamaan (religious commitment) memiliki lima dimensi, salah satunya yaitu dimensi konsekuensial (religious effect), yang menyangkut seberapa kuat ajaran-ajaran dan nilai-nilai agama seseorang memotivasi dan menjadi sumber inspirasi atas perilaku-perilaku duniawinya.  

Oleh karena itu, berdasarkan fakta ilmiah ini kita dapat menegaskan bahwa kebutuhan manusia akan ajaran agama atau landasan spiritual itu merupakan kebutuhan asasi yang tidak mungkin dapat dihilanglan dan dihalang-halangi. Dalam hal ini, Bergson (1859-1941) menegaskan bahwa “kita dapat menemukan masyarakat tanpa sains, seni, dan filsafat, tapi tidak ada masyarakat tanpa agama”. Friedrich Godel, matematikawan asal Amerika yang lahir di Austria, juga menelurkan 'Teorema Tidak Lengkap' yang menegaskan keberadaan Tuhan. Teori ini kemudian berkembang dengan dua bagian utama, yakni 'kebutuhan' dan 'peluang'. Berdasarkan penelitian Universitas Stanford, teori Godel menyatakan bila Tuhan adalah zat yang paling agung dan ada di setiap pemikiran manusia. Nah, secara otomatis kita memercayai adanya Tuhan bila kita yakin di luar sana ada zat lebih hebat dari apapun. Oleh sebab itu, keberadaan Tuhan bisa dikatakan absolut.


B. Arti penting penguatan pelajaran agama di sekolah dari aspek historis

Diantara seruan Bung Karno bagi bangsa Indonesia yang fenomenal dan selalu diingat, yaitu seruan JASMERAH (jangan melupakan sejarah). Seruannya itu mengibgatkan kita bahwa sejarah itu memiliki arti yang sangat pentiing dalam kehidupan suatu bangsa, karena peristiwa sejarah yang telah terjadi pada masa lampau dari sebuah bangsa itu akan menjadi sebuah pedoman atau pegangan hidup dari bangsa tersebut di masa sekarang dan dimasa depan. Oleh karena itu jangan sekali-sekali kita melupakan sejarang bangsa Indonesia ini.

Diantara fakta sejarah yang jangan kita lupakan adalah terkait dengan peran agama dan para penganutnya, khususnya para tokoh-tokohnya, di dalam memperjuangkan bangsa ini dari sejak masa pra-kemerdekaan, perumusan dasar negara sampai pasca kemerdekaan. Khususnya lagi menyangkut peran mayoritas ummat Islam yang menjadi bagian terpenting dari sejarah perjuangan bangsa ini.

Sebagai bukti yang faktual dan tak dapat dibantah terkait peran agama dan penganutnya ini adalah dituangkannya kalimat "atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya", pada salah satu paragrap Preambule UUD 1945, serta dirumuskan dan ditetapkannya sila pertama Pancasila, yiitu "Ketuhanan Yang Maha Esa". Ini semua menegaskan bahwa negeri ini dibangun atas dasar dan semangat agama serta nilai- nilai spritualisme.

Mohammad Natsir dalam sala satu pidatonya mengatakan, “Kalau kita mau jujur melihat Sejarah, mau jujur mengambil pelajaran dari keadaan itu, sehingga dapat bertahan sampai ratusan tahun lamanya di dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa kita. Tidak lain saudara-saudara, ini disebabkan oleh pelajaran Islam, dan berkat tauhid yang dapat menghilangkan sifat takutnya, keragu-raguannya, dan kekhawatirannya karena menyerahkan dirinya kepada Allah Swt. Setiap muslimin dengan tabah dapat menunaikan kewajibannya.”

Oleh karena itu, apabila ada pihak-pihak yang ingin mengabaikan peran agama dan nilai-nilai spiritualnya di dalam menjaga dan membangun bangsa ini, maka secara tidak langsung mereka itu sedang berusaha untuk menjauhkan bangsa ini dari sejarahnya. Apalagi jikalau usaha-usaha pengabaian peran agama dan nilai-nilai spiritual itu dipaksakan pada sisi pendidikan, maka pemikitan seperti ini sudah melompat jauh, bukan saja ingin mengabaikan sendi sejarah bangsa, tetapi juga memiliki agenda lain yang bertolak belakang dengan sejarah bangsa ini.

Berikut ini adalah diantara gambaran faktual terkait peran agama dan para penganutnya di dalam memperjuanglan bangsa ini:

1. Apabila kita memperhatikan dulu masa-masa kerajaan-kerajaan dahulu, kita tahu bahwa yang menjadi penggerak utama berdirinya kerajaan-kerajaan Islam seperti Samudra Pasai, Malaka, Aceh, Demak, Baten, Mataram, Goa Talo, Ternate dan Tidore adalah pengaruh agama Islam dan budayanya, sehingga kerajaan-kerajaan ini terkenal dengan kerajaan Islam yang memberlakukan ajaran Islam sebagai pijakan utama dalam membangun fan menyatukan rakyatnya. Begitu pula dengan kerajaan-kerajaan Hindu seperti Kutai, Tarumanegara, Kediri, Singasari dan Majapahit itu berdiri karena dipengaruhi oleh ajaran agama hindu dan budayanya. Sama halnya juga dengan dua kerajaan Budha, yaitu Sriwijaya dan Mataram, itu berdiri karena pengaruh agama Budha dan kebudayaannya.

2. Pada masa kesultanan, agama menjadi pijakan utama kesultanan dalam menjaga status quonya dan penggerak dalam memelihara persatuan dan kesatuan rakyatnya melalui penyelenggaraan ritual-ritual keagamaan. Pada masa ini, agama di Nusantara memiliki karakteristiknya sendiri yang menyatu dan beradaptasi dengan budaya lokal, suatu kecenderungan kearah pembentukan tradisi yang bercorak integrative. Hal ini sebagaimana dapat terlihat juga dari gerakan dakwah Wali Songo. 

3. Pada masa kolonial, agama Islam mengambil bentuk formalnya sebagai gerakan perjuangan melawan penjajah. Pada masa ini agama merupakan sumber integrative yang menyatukan individu dan membentuk masyarakat menjadi memiliki ruh kekuatan pembebas. Hal ini tidak terlepas dari peran tokoh-tokoh agama pada masa itu dalam menyadarkan rakyat akan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan para penjajah. Kemudian mereka mengeluarkan fatwa wajibnya jihad melawan penjajah atau menjadikan perjuangan tersebut sebagai jigad fii sabilillah. Diantara tokoh-tokoh agama tersebut seperti Pangeran Dipenogoro, Fatahillah, Imam Bonjol, Teungku Cik Ditiro, KH. Hasyim Asy’ari, KH. Zainal Mustafa, dll.

4. Kemudian sejak awal abad 20-an, di nusantara mulai timbul berbagai gerakan yang mempunyai misi kebangsaan dalam situasi kolonial, namut masih tetap dalam bungkai semangat keagamaan. Pada masa itu pusat gerakan keagamaan lebih banyak tertuju kepada soal-soal kemasyarakatan, seperti pendidikan, sosial dan ekonomi. Para pemimpin pergerakan Islam ini, seperti H. Samanhudi, HOS Tjokoaminoto, Tirto Adisuryo. Pada mulanya mereka mendirikan Serikat Dagang Islam (SDI) lalu merubahnya menjadi Serikat Islam (SI). Ideologi mereka adalah Islam yang menolak kolonialisme dan menuntut kemerdekaan, baik dalam bidang ekonomi, maupun politik. Walaupun SI ini ideologinya Islam, tetapi pada permulaannya tidak hanya menerima anggota yang beragama Islam, namun juga dari golongan-golongan yang mempunyai orientasi ideologis lain, yang sama-sama anti penjajahan.  gerakan nasional (kebangsaan) mulai dari bawah, dari rakyat. Barulaj setelah Partai Serikat Islam menjadi lebih sempit, sesudah 1921, organisasi kebangsaan yang lain mulai muncul sendirian.

5. Menjelang dasawarsa 1930-an, pergerakan nasional maju selangkah lagi, yaitu  dengan diadakannya kongres para pemuda yang menghasilkan "Sumpah Pemuda" dengan trilogy kebangsaannya, yaitu “satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa. Ini menandakan timbulnya kesadarana para pemuda dari berbagai wilayah nusantara dalam mencita-citakan Indonesia merdeka, bebas dari penjajahan. Diantara anggota dan penggerak Sumpah Pemuda ini adalah gerakan keagamaan pemuda Muslim yang tergabung dalam organisasi Jong Islamieten Bond (JIB), atau biasa disebut Perhimpunan Pemuda Islam (PPI), yang merupakan organisasi perhimpunan pemuda dan pelajar Islam Hindia Belanda yang didirikan tanggal 1 Januari 1925 di Batavia. Bahkan anggota JIB inj merupakan anggota dari Jong Sumatranen Bond, Jong Java, dan organisasi pemuda lainnya. Selain tokoh pemuda Islam, ada juga tokoh pemuda Kriaten yang aktif di kongrwa tersebut, seperti Johannes Leimena yang aktif juga dalam GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia), Partai Kristen Indonesia (Parkindo) terbentuk dan pada tahun 1950, bahkan ia berperan aktif dalam pembentukan DGI (Dewan Gereja-gereja di Indonesia, kini PGI).

5. Pada masa persiapan kemerdekaan RI, kita mengenal suatu badan khusus yang dibentuk untuk mempersiapkan kemerdekaan RI, yaitu BPUPKI. Jika ditelusuri dari formasi anggotanya, badan ini terdiri dari 63 orang. Mayoritasnya adalah tokoh Islam, sedangkan delapan anggotanya beragama non-Islam, yaitu beragama Buddha dan Kristen. Lalu ketika badan ini membentuk panitia kecil yang bertugas merumuskan tujuan dan maksud didirikannya negara Indonesia, panitia ini terdiri dari 9 orang, 8 anggotanya adalah muslim, bahkan mayoritasnya adal para ulama. Sedangkan 1 anggotanya beragama Kristen. Secara umum 9 panitia ini terbagi dua kelompok, yaitu Nasionalis Islamis antara lain KH. Abdul Kahar Muzakir, H. Agus Salim, KH.Wahid Hasyim, Ki Bagus dan Abi Kusno, yang menginginkan agar Islam dijadikan dasar negara Indonesia. Sedangkan kelompok kedua adalah Nasionalis Sekuler dibawah pimpinan Soekarno, yang menginginkan negara Indonesia yang akan dibentuk itu netral dari agama. Namun Akhirnya terjadi sebuah kompromi antara kedua kelompok sehingga melahirkan sebuah rumusan yang dikenal dengan Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945, yang sila pertamanya berbunyi :Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syareat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. 

Rumusan ini pada tanggal 18 Agustus 1945 berubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Kesepakatan ini terjadi setelah adanya lobi dari Bung Hatta kepada kelompok Islam yang digawangi Ki Bagus Hadikusumo karena ada utusan kelompok dari tokoh di Indonesia timur yang "mengancam" akan memisahkah diri dari Indonesia bila rumusan sila pertama dalam Piagam Jakarta tetap menggunakan frasa "kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya". Akhirnya sila pertama tersebut dirubah menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa."

Kesepakatan tersebut tentu didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan yang mendalam, ada beberapa sebab mengapa Pancasila dapat diterima sebagai kesepakatan bangsa. Bagi gerakan Islam, alasan utama yang bersifat social politik bagi penerimaan Pancasila adalah karena dengan dan dalam Pancasila, seluruh unsur bangsa dan masyarakat bisa bersatu, karena ia adalah merupakan kesepakatan bersama untuk tunduk kepada nilai-nilai yang disepekati bersama itu. Ini juga berarti bahwa seluruh unsur bangsa dan masyarakat sepakat untuk bersatu. Sebab pokok mengapa gerakan Islam mau menerima kata sepakat ini adalah karena semua sila dalam Pancasila itu dinilai paling tidak bertentangan bahkan sesuai dengan ajaran Islam, terutama sila pertama, Ketuhanan Yang Mahaesa.

Oleh karenya, pidato Mr Soepomo dalam sidang BPUPKI pada tanggal 31 Mei 1945 menegaskan bahwa "Indonesia tidak perlu menjadi negara Islam, tetapi cukup menjadi negara yang memakai dasar moral yang luhur yang dianjurkan oleh agama Islam.

6. Pasca proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, ternyata belum membuat Belanda berhenti melancarkan misinya. Belanda tidak mau mengakui kemerdekaan Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdaulat. Belanda berusaha kembali menjajah. Agresi Militer Belanda I (1947) dan Agresi Militer II (1949) menjadi buktinya. Selain itu, melalui diplomasi licik yang dilancarkan dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) Belanda berhasil membentuk Republik Indonesia Serikat (RIS).

Melihat kenyataan seperti itu, Mohammad Natsir, yang saat itu menjadi anggota DPR-RIS sekaligus menjadi Ketua Fraksi Masyumi, melakukan upaya penyatuan kembali negara. Di Parlemen RIS, Natsir tidak hanya melobi politisi Islam, tetapi juga berbicara dengan I.J. Kasimo dari Partai Katholik, A.M. Tambunan dari Partai Kristen. Dia juga menemui Pejabat Presiden RI di Yogya, dan pergi ke daerah-daerah lain untuk melakukan pendekatan dan mengetahui pendapat mereka.

Alhasil, setelah mendapat keyakinan bahwa usulannya tidak akan ada yang menolak, Natsir segera menyampaikan pidato dalam Sidang Parlemen RIS, yang kemudian dikenal dengan nama “Mosi Integral Natsir". Dari Mosi itulah, bangsa Indonesia yang hendak dipecah-belah oleh Belanda berhasil digagalkan. Tepat pada 17 Agustus 1950 RIS secara resmi dibubarkan dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) diproklamasikan kembali. Itulah salah satu perjuangan Mohammad Natsir, seorang Ulama yang berwawasan kebangsaan.

Demikianlah peran agama, tokoh-tokoh dan para penganutnya yang sangat kuat dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Dari sini dapat terlihat bahwa agama dan Negara dipandang oleh mereka sebagai wadah dan sekaligus perwujudan nilai-nilai luhur agama. Itulah yang menjelaskan mengapa di Indonesia, demokrasi diberi predikat Pancasila, karena demokrasi untuk merealisasikan nilai-nilai luhur Pancasila dan sekaligus agama (Naufal: Agama dan Kebinekaan).


C.  Arti penting penguatan pelajaran agama di sekolah dari aspek konstitusi dan perundanga-undangan

Konstitusi dimaknai sebagai "keseluruhan sistem ketatanegaraaan suatu negara yang berupa kumpulan peraturan yang membentuk mengatur/memerintah dalam pemerintahan suatu negara" (K. C. Wheare).  Maka negara konstitusional adalah Negara yang berdasarkan pada konstitusi atau UUD yang biasanya memuat hal-hal pokok tentang berdirinya negara, bagaimana cara pengaturan Negara, serta apa hak dan kewajiban pemerintah dan warga negara. Oleh karenanya, segala kebijakan-kebijakan pemerintah menyangkut rakyatnya haruslah mengacu pada konstitusi ini.

Karena konstitusi di Indonesia adalah UUD 1945, maka hukum dasar tertinggi di Indonesia adalah UUD 1945. Dengan demikian semua jenis peraturan perundang-undangan di Indonesia kedudukannya di bawah UUD 1945. UUD 1945 merupakan sumber hukum tertinggi yang resmi, artinya segala peraturan yang lebih rendah tingkatannya harus bersumber pada UUD 1945. Dan karena itu pula, UUD 1945 berfungsi sebagai alat control bagi peraturan perundang-undangan di bawahnya, apakah sesuai atau tidak dengan hakikat isi UUD 1945. Oleh karena itu, UUD 1945 bersifat mengikat, baik bagi pemerintah, setiap lembaga negara dan lembaga masyarakat, maupun bagi setiap warga negara Indonesia.

Sebagaimana telah di sampaikan di atas, bahwa dalam pembukaan UUD 1945 saja sudah ditegaskan bahwa kemerdekaan bangsa ini tidak lepas dari peran agama sebagai pijakan dan pendorong utama para pahlawan bangsa ini dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini. Penegasan tersebut yaitu terletak pada kalimat "atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya".

Kemudian, dalam sila pertama dasar negara yaitu Pancasila ditetapkan bahwa Indonesia adalah negara yang berketuhanan, mengakui agama-agama dan berprinsip pada nilai-nilai agama. Maka sila ini menolak paham anti agama. Sila ini berbunyi "Ketuhanan Yang Maha Esa".

Berikut ini adalah pasal-pasal UUD 1945 yang berkaitan dengan agama dan pemeluknya serta jaminan kebebasan menjalankannya di indonesia:

1. Pasal 28E: (1) Setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali. (2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.

2. Pasal 28I: (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.

3. Pasal 29: (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

4. Pasal-pasal tersebut di atas penerapannya dibatasi oleh hak-hak asasi orang lain yang diatur dalam pasal 28J sebagai berikut, yaitu: (1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Sebagai turunan dari UUD 1945 tersebut, ada peraturan perundangan yang mengatur tentang agama dan pemeluknya serta jaminan kebebasan menjalankannya di indonesia, yaitu sbb:

1. UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

a. Pasal 4. "Hak. untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun."
b. Pasal 22 (1). "Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu."
c. Pasal 22 (2). "Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu."

2. UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. a. Pasal 80. "Pengusaha wajib memberikan kesempatan yang secukupnya kepada pekerja/buruh untuk melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya.

3. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 175. "Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan merintangi pertemuan keagamaan yang bersifat umum dan diizinkan, atau upacara keagamaan yang diizinkan, atau upacara penguburan jenazah, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan."

Adapun pasal-pasal UUD 1945 yang secara khusus mengatur tentang pendidikan yang harus menekankan peningkatan keimanan dan ketakwaan serta akhlak, juga menjunjung tinggi nilai-nilai agama adalah sbb:

1. Pasal 31 Ayat 3: Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.

2. Pasal 31 ayat 5: Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menunjang tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.

Kemudian,  turunan dari UUD 1945 tersebut adalan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang telah diatur dan ditetapkan secara tegas tentang pentingnya pendidikan agama bagi peserta didik, baik dari segi penyelenggaraan maupun tujuan pendidikan nasioanal itu sendiri, juga penekanan penerapan nilai-nilai agama ini dalam kehidupan peserta didik. Diantara undang-undang tersebut adalah sbb:

1. BAB I Pasal 1:

a. Ayat 1: Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

b. Ayat 2: Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.

c. Ayat 16: Pendidikan berbasis masyarakat adalah penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat.

2. BAB II Pasal 3: Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

3. BAB III Pasal 4, ayat (1) Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.

4. BAB V Pasal 12, ayat (1): Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak: a. mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama;

3. BAB X Pasal 36, ayat (3): Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan: a. peningkatan iman dan takwa; b. peningkatan akhlak mulia; c. peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik; d. keragaman potensi daerah dan lingkungan; e. tuntutan pembangunan daerah dan nasional; f. tuntutan dunia kerja; g. perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; h. agama; i. dinamika perkembangan global; dan j. persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.

4. BAB X Pasal 37, ayat (1): Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat: a. pendidikan agama; b. pendidikan kewarganegaraan; c. bahasa; d. matematika; e. ilmu pengetahuan alam; f. ilmu pengetahuan sosial; g. seni dan budaya; h. pendidikan jasmani dan olahraga; i. keterampilan/kejuruan; dan j. muatan lokal. Ayat (2): Kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat: a. pendidikan agama; b. pendidikan kewarganegaraan; dan c. bahasa.

Dari sini sudah sangat jelas bahwa sistem pendidikan nasional Indonesia ini merupakan suatu sistem pendidikan yang mengharuskan terprogramnya menyeimbangkan antara iman, takwa, ahlak mulia dengan kecerdasan, dan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi agama. Oleh karenanya, jikalau ada pihak-pihak yang coba-coba mengusulkan penghapusan pendidikan agama di sekolah, maka mereka itu seperti sedang bermimpi di siang bolong.


D. Arti penting penguatan pelajaran agama di sekolah dari aspek ajaran agama-agama yang diakui dan dianut di Indonesia

Karena pembahasan ini terkait dengan tanggapan terhadap pihak-pihak yang secara sadar dan sengaja mengusulkan wacana penghapusan pendidikan agama di sekolah dengan alasan utama mereka karena perbedaan agama menjadi sumber konflik, dan pemahaman agama menjadi sumber radikalisme, yang karenanya dapat menyebabkan kehancuran negara, maka ulasan seputar ajaran agama-agama ini akan difokuskan pada aspek penegasan tentang anjuran toleransi dalam ajaran agama-agama. Dengan tujuan, agar di satu sisi ini menjadi sebagai bantahan terhadap pihak-pihak tersebut, dan di sisi lain sebagai penguatan terhadap arti penting pendidikan agama di sekolah, khususnya terkait ajaran agama-agama tersebut berkenaan dengan toleransi antar penganut agama-agama tersebut. Sehingga dengan itu semua rakyat Indonesia menjadi faham bahwa ajaran agama-agama yang ada di Indonesia ini tidaklah menjadi sumber konflik, jikalau itu ada, bukan karena ajaran agamanya, tetapi karena salah pemahaman atau kurang pendalaman seputar ajaran toleransi masing-masing agamanya. Dalam hal ini Shahab (dalam Dian Interfidei,1995) menegaskan bahwa "jika setiap penganut agama mempertahankan kebenaran sejati setiap agama, bukan simbol, maka tidak akan terjadi konflik."

Berikut ini adalah anjuran-anjuran toleransi di dalam ajaran agama-agama yang diakui dan dianut di Indonesia tersebut:

1. Anjuran toleransi dalam ajaran agama Islam, diantaranya adalah sbb:

a. Al-Qur’an surat Al-Kaafiruun [109]: 6, yang artinya: “Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku."
b. Al-Qur’an surat Al-Baqarah [2]: 256: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat....”
c. Al-Qur’an surat Al-Mumtahanah [60]: 8-9, yang artinya: “Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.”
d. Al-Qur’an surat Al-Hujurat [49]: 13, yang artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
e. Hadits Rasulullah Muhammad SAW.: “Barangsiapa yang membunuh non-Muslim yang terikat perjanjian dengan umat Islam, maka ia tidak akan mencium keharuman surga. Sesungguhnya keharuman surga itu bisa dicium dari jarak 40 tahun perjalanan di dunia.” (HR. Bukhari)

2. Anjuran toleransi dalam ajaran agama Kristen, diantaranya adalah sbb:

a. Mazmur 133: “Sungguh alangkah baik dan indahnya apabila saudara-saudara diam bersama dengan rukun...”
b. Matius 22: 39: “.... Dan hukum kedua, yang sama dengan itu ialah: kasihilah sesamamu manusia seperti  dirimu sendiri”.
c. Gab 6: 10: “Karena itu, selama masih ada kesempatan bagi kita, marilah kita berbuat baik kepada semua orang, tetapi terutama kepada kawan-kawan kita seiman.”
d. Kisah Rasul-rasul 17: 26: “Adapun segala bangsa itu merupakan satu masyarakat dan asalnya pun satu juga, karena Tuhan menjadikan seluruh bangsa manusia untuk menghuni seluruh bumi.”
e. Im 19: 33-34: “Apabila seorang asing tinggal padamu di negrimu, janganlah kamu menindas dia. Orang asing yang tinggal padamu harus sama bagimu seperti orang Israel asli dari antaramu, kasihilah dia seperti dirimu sendiri, karena kamu juga orang asing dahulu di tanah Mesir, Akulah Tuhan, Allahmu.”
f. Pet 2: 13-14: “Tunduklah karena Allah kepada semua lembaga manusia, baik kepada raja sebagai pemegang kekuasaan yang tertinggi. Maupun kepada wali-wali yang diutusnya untuk menghukum orang-orang yang berbuat jahat dan menghormati orang-orang yang berbuat baik”.
g. Yer 29: 7: “Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu aku buang, dan berdo’alah untuk kota itu kepada Tuhan, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu”.

3. Anjuran toleransi dalam ajaran agama Hindu, diantaranya adalah sbb:

a. Bhagawadgita, 7: 21: “Kepercayaan apapun yang ingin dipeluk seseorang, Aku perlakukan mereka sama dan Ku-berikan berkah yang setimpal supaya ia lebih mantap.”
b. Bhagawadgita, 7: 21: “Tanpa kekearasan, kebenaran, bebas dari kemarahan, tanpa pamrih, tenang, benci dalam mencari kesalahan, welas asih terhadap makhluk hidup, bebas dari kelobaan, sopan, kelobaan hati dan kemantapan”.

4. Anjuran toleransi dalam ajaran agama Budha, diantaranya adalah sbb:

a. Empat sifat luhur (Brahma Vihara) yang terdiri dari: cinta kasih (Metta), welas asih (Karuna), Simpati (Mudita), dan keseimbangan batin (Uppekha).
b. Mahaparinibbana Sutta: “... Tetapi dalam ajaran da disiplin manapun di mana terdapat Jalan Mulia Berunsur Delapan, maka disana dapat ditemukan para petapa yang telah mencapai kesucian pertama, kedua, ketiga, dan keempat.”
c. Asoka’s Rock Edick XII: “Janganlah kita menghormati agama kita sendiri dengan mencela agama lain. Sebaiknya agama lainpun hendaknya dihormati atas dasar-dasar tertentu.”
d. Asoka’s Mayor Rock Edick VII: “Mendorong pengembangan agama sendiri, mengagung-agungkannya, tatapi mencela agama lain untuk kepetingan sendiri akan merugikan agama itu sediri.”

5. Anjuran toleransi dalam ajaran agama Khonghucu, diantaranya adalah sbb:

a. Lima Sifat Mulia (Wu Chang): Ren/Jin (cinta kasih, halus budi pekerti...), I/Gi (rasa solidaritas, senasib sepenanggungan...), Li/Lee (sopan santun, tatakrama...), Ce/Ti (bijaksana, pengertian...), Sin (memegang kepercayaan, memegang janji...).”
b. Lun Yu XII: “Di empat penjuru lautan semuanya saudara.” (Ajaran Kongzi)

Dari semua gambaran faktual  ini, sangatlah jelas bahwa tidak satu celahpun yang menunjukan bahwa pendidikan agama di sekolah itu tidak penting, bahkan dapat menjadi sumber radikalisme dan konflik. Justru sebaliknya semua aspek yang di bahas dibahas, dari mulai aspek kajian ilmiah, historis, konstitusi dan perundang-undangan sampai pada aspek ajaran agama-agama itu sendiri sangat gamblang menganjurkan dan mendorong terhadap penguatan pendidikan agama di sekolah, khususnya terkait anjuran-anjuran toleransi antar umat beragama.

1 comment: