Sunday 26 May 2019

Karakteristik Utama Pemimpin yang Bertaqwa

(sigapnews.co.id)


Oleh: Nabil Abdurahman

Dalam Undang-undang Pemilu Republik Indonesia No. 7 Tahun 2017 pasal 169 dinyatakan bahwa syarat pertama dari dua puluh persyaratan mengenai calon Presiden dan calon Wakil Presiden adalah “bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa”.

Ini menegaskan bahwa karakter taqwa bagi seorang pemimpin bangsa Indonesia ini merupakan suatu tuntutan yang mesti dimiliki dan diaktualisasikan olehnya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Allah SWT berfirman di dalam QS. al-Hujurat [49]: 13, yang artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.

Apabila kita perhatikan ayat ini, lalu kita korelasikan dengan keadaan kita bangsa Indonesia yang terdiri dari beragam suku dan tersebar di berbagai pulau yang dipisahkan oleh lautan, maka diundangkannya syarat bertaqwa bagi pemimpin kita sudah sangat sesuai dengan yang semestinya, karena dalam ayat itu ditegaskan bahwa tujuan Allah SWT menjadikan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku itu supaya sebagian dari mereka saling mengenal sebagian yang lain, bukan untuk saling membanggakan ketinggian nasab atau keturunan, karena sesungguhnya kebanggaan itu hanya dinilai dari segi ketakwaan (Tafsir Jalalain).

Dengan adanya penegasan tersebut, maka sudah seharusnyalah orang yang memimpin kita bangsa Indonesia itu adalah orang yang benar-benar memiliki karakter taqwa, karena seorang pemimpin itu lumrahnya akan menjadi lokomotif kebaikan atau kerusakan yang akan terjadi di dalam kehidupan rakyatnya.

Apabila pemimpin kita berkarakter taqwa tentulah ia akan menjadi pendorong dan pigur dalam menjalankan kehidupan kita dengan penuh ketaqwaan, sehingga dengan itu menjadi wasilah Allah SWT melimpahkan kepada kita keberkahan dan kebaikan dari langit dan bumi. Namun apabila sebaliknya, maka Dia akan menimpakan kepada kita kesengsaraan, kepedihan bahkan kebinasaan. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Allah SWT di dalam QS. al-A’raaf [7]: 96, yang artinya:

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya”.

Oleh karena itu, seorang pemimpin haruslah memiliki karakter taqwa yang lebih dari pada rakyatnya yang muslim, karena dia dibebani tanggung jawab dalam memimpin mereka. Dengan kata lain dia bukan saja dituntut agar berkarakter taqwa sebagai seorang pribadi muslim, tetapi juga dalam kapasitasnya sebagai seorang pemimpin muslim.

Adapun karakteristiknya sebagai seorang muslim yang bertaqwa adalah selalu menanamkan pada dirinya ketauhidan kepada Allah SWT dan rasa takut akan siksaan dan azab-Nya, sehingga tumbuh ketaatan terhadap apa yang diperintahkan-Nya dan menjauhi kemaksitan terhadap-Nya, dengan penuh keikhlasan niat karena-Nya semata, dalam bentuk aktualisasi menjalankan berbagai ritual ibadah, baik itu ibadah yang langsung terhubung dengan-Nya (mahdhah), maupun yang disamping terhubung dengan-Nya, juga terhubung dengan sesamanya atau makhluk lainnya (ghair mahdhah) dengan mengikuti hukum-hukum alam (sunnatullah) dalam bingkai syari’at dan kemaslahatan sesama makhluk-Nya.

Apabila itu semua dapat dia laksanakan dengan baik, benar dan kontinu, maka sebagai outputnya dia akan selalu memposisikan hatinya selaras dengan kehendak Allah SWT. Juga selalu menjadikan hatinya yang selaras dengan kehendak-Nya tersebut selaras dengan perkataan lisan dan perbuatan seluruh anggota tubuhnya. Sehingga tampak sempurnalah keshalehan hati (batin), lisan dan seluruh anggota tubuh (lahirnya) di sisi Allah dan dalam pandangan "fitrah" sesama manusia.

Sedangkan karakteristik utama dalam kapasitasnya sebagai seorang pemimpin muslim yang bertaqwa yaitu:

Pertama, dia selalu berusaha menegakan kebenaran dan keadilan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Allah SWT menegaskan di dalam QS. al-Maa’idah [5]: 8, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.

Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili di dalam tafsirnya Al-Muniir menyatakan bahwa keadilan itu merupakan timbangan kebenaran, apabila keadilan ini tidak ditegakan maka kerusakan umat akan merajalela. Keadilan ini bukan hanya harus ditegakan terhadap sesama mukmin saja, tetapi juga terhadapa orang-orang kafir, bahkan terhadap musuh sekalipun, karena berlaku adil terhadap musuh itu akan mendekatkan diri pada ketaqwaan, dalam artian sebagai bagian dalam rangka memelihara diri dari kemaksiatan dalam arti dan ruang lingkup yang luas (Tafsir Al-Munir).

Kedua, dia selalu berusaha untuk menepati janji yang telah dia janjikan, baik itu terhadap janji politik yang telah dikemukakan selama berkampanye, ataupun terhadap perjanjian-perjanjian lainnya selama dia memimpin. Allah SWT berfirman di dalam QS. at-Taubah [9]: 4 dan 7, yang artinya: “Kecuali orang-orang musyrikin yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi sesuatu pun (dari isi perjanjian)mu dan tidak (pula) mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu, maka terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaqwa”. “Bagaimana bisa ada perjanjian (aman) dari sisi Allah dan Rasul-Nya dengan orang-orang musyrikin, kecuali orang-orang yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) di dekat Masjidil haraam? maka selama mereka berlaku lurus terhadapmu, hendaklah kamu berlaku lurus (pula) terhadap mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa”.

Kontek ayat ini menegaskan tentang keharusan Rasulullah SAW dan kaum muslimin yang dipimpinnya agar memenuhi perjanjian dengan pihak-pihak non-Muslim yang tidak mengurangi sesuatu pun dari isi perjanjian tersebut, dan tidak pula membantu seseorang atau pihak-pihak lainnya yang memusuhi umat Islam, serta berlaku lurus dalam menjaga perjanjian tersebut, seperti lurusnya kabilah Bani Bakar dan Bani Dhamrah yang mengadakan perjanjian gencatan senjata dengan Rasulullah SAW di dekat Masjidil Haram, yaitu di al-Hudaibiyah (Tafsir Al-Munir).

Namun kalau kita perhatikan dari sisi mafhum muwafaqah-nya dapat kita fahami bahwa terhadap orang-orang kafir saja Rasulullah SAW dan umat Islam diharuskan memenuhi janji mereka, maka terhadap sesama muslim haruslah lebih diperhatikan lagi dalam merealisasikan janji mereka tersebut. Apalagi janji seorang pemimpin muslim terhadap rakyatnya yang muslim.

Ketiga, dia akan selalu memperhatikan peringatan Allah agar jangan mau dan rela disetir, dikendalikan dan dimanfaatkan oleh orang kafir dan munafik, sebagaimana yang ditegaskan oleh Allah SWT di dalam QS. al-Ahzab [33]: 1, yang artinya: “Hai Nabi, bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu menuruti (keinginan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.

Imam Ibnu Katsir di dalam tafsirnya menjelaskan bahwa perintah di dalam ayat ini walaupun lahiriahnya ditujukan kepada orang yang berkedudukan tinggi (Nabi SAW), tetapi makna yang dimaksud ditujukan kepada orang yang lebih rendah kedudukannya (umatnya), karena sesungguhnya Allah SWT itu apabila memerintahkan kepada hamba dan Rasul-Nya dengan perintah ini, maka terlebih lagi kepada umatnya. Dan ayat ini memerintahkan agar umat Islam jangan mendengar ucapan dan meminta saran dari orang-orang kafir dan munafik sebagai betuk realisasi ketaqwaannya kepada-Nya. Wallahu a’lam bishshawab.

1 comment: