Friday 16 March 2012

Hisab; dalam Tinjauan, Komparasi dan Aplikasi -Wujud al-Hilal Muhammadiyah sebagai percontohan


(https://www.asumsi.co) 


Oleh: Nabil Abdurahman

Salah satu permasalan umat Islam yang menjadi bahan perdebatan yang tidak tuntas sampai saat ini adalah masalah cara penentuan awal bulan ramadan, syawal dan dzulhijjah, dengan metode Ru’yat al-hilal (melihat bulan dengan mata) atau metode Hisab (perhitungan astronomi). Perdebatan ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi hampir di seluruh Negara-negara yang berpenduduknya muslim. Hal ini timbul dikarenakan pihak-pihak yang terlibat sama-sama mengklaim bahwa masing-masing pendapatnya adalah yang paling benar karena sama-sama didukung oleh dalil-dalil yang sangat kuat.
Oleh karena itu, agar kita bisa memahami dengan baik permasalahan tersebut, maka ada baiknya kita melihat beberapa hal, yang menurut pemateri sangat penting untuk diketahui, yaitu: asal mula timbulnya perbedaan dan sumbernya, dalil-dalil yang dijadikan sumber dan penguat pendapat masing-masing kelompok yang berbeda, dan perbedaan faktor teknis dari masing-masing metode tersebut.

A.     Asal mula timbulnya perbedaan dan sumbernya
Berdasarkan temuan pemateri, bahwa asal-mula timbulnya perbedaan pandangan dalam penentuan awal ramadhan, syawal dan dzulhijah adalah terjadi pada generasi Mutaakhirin, dimana pada masa itu ada beberapa ulama yang berpandangan bahwa kalimah فاقدروا له dalam hadits Rasulullah saw dari Ibnu Umar:

لا تصوموا حتى تروا الهلال ولا تفطروا حتى تروه، فإن غم عليكم فاقدروا له

tidak bermakna فانظروا في أول الشهر واحسبوا تمام الثلاثين (maka lihatlah di awal bulan dan hitunglah dengan menyempurnakan bilangan tigapuluh hari) seperti yang dikemukakan oleh jumhur ulama; akan tetapi bermakna فاقدروا بحساب المنازل (maka ukurlah dengan menghitung tempat/perjalanan bulan). Diantara ulama-ulama tersebut adalah Ibnu Suraij dari Syafi’iah dan Ibnu Qutaibah dari Muhadditsin. Walaupun demikian, pada masa tabiin pun sudah ada yang berpendapat serupa, seperti Mutharrif bin Abdullah as-Syikhkhir. Sedangkan Hanabilah berpendapat bahwa makna kalimah tersebut adalah ضيقوا له وقدروه تحت السحاب (sempitkanlah/ambilah yang singkat dan ukurlah dibawah awan). [Lihat: Fathu al-Bari Syarh Sahih al-Bukhari, Ibnu Hajar al-Asqolani dan Syarh al-Nawawi ‘Ala Muslim, Imam Nawawi]  
Hal tersebut secara tidak langsung sejalan dengan berkembangnya kajian-kajian Ilmu Falak/Astronomi pada masa Dinasti Abbasiyyah, khususnya pada masa Khalifah Ja’far al-mansur dan al-Makmun. Dimana pada masa itu pengembangan Ilmu Falak menempati posisi ke empat setelah Ilmu Tauhid, Fikih dan Kedokteran. Sehingga muncul beberapa Ulama Falak seperti: al-Battani (w.317 H), al-Buzjani (w.387 H), Ibn Yunus (399 H), At-Thusy (w.672 H), al-Biruny (w.442 H).
Di masa al-Makmun ini pula gerakan penerjemahan literatur-literatur Ilmu Falak/Astronomi asing ke dalam bahasa Arab mulai marak, seperti buku "Sind Hind" tahun 154 H/ 771 M yang diterjemahkan oleh Ibrahim al Fazzary, buku “Miftah al-Nujum” yang dinisbahkan pada Hermes Agung (Hermes al-Hakim) dimasa Umawiyah, dan buku "Almagest Ptolomaeus" yang diterjemahkan oleh Yahya bin Khalid al-Barmaky dan disempurnakan oleh al-Hajjaj bin Mutharr dan Tsabit bin Qurrah (w.288 H).

B.    Dalil-dalil yang dijadikan sumber dan penguat pendapat masing-masing kelompok yang berbeda
Para pengusung Ru’yah secara umum banyak berpatokan pada beberapa Hadist yang memerintahkan umat Islam untuk menentukan awal dan akhir puasa dengan melihat bulan, sedangkan para ahli Hisab banyak berhujjah dengan beberapa ayat al-Qur’an yang menyuruh umat Islam untuk mengetahui perjalanan Bulan agar bisa mengetahui bilangan tahun dan hisab (perhitungan waktu).

Kelompok Ru’yat al-hilal
                Beberapa dalil yang oleh mereka dijadikan hujjah tersebut adalah:
1.     Firman Allah dalam Surat al-Baqarah ayat 185:
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Artinya: “Karena itu, barangsiapa di antara kamu ada dibulan itu, maka berpuasalah”.
2. Hadits dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah menyebut Ramadhan, lalu beliau bersabda:
قَالَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ

Artinya: Rasulullah Saw. bersabda:” Janganlah kalian berpuasa sehingga kalian melihat hilal (bulan Ramadhan) dan jangan pula kalian berbuka (tidak berpuasa) sehingga kalian melihatnya. Jika awan menyelimuti kalian maka perkirakanlah untuknya” (HR. al-Bukhari dan Muslim. Shahih al-Bukhari, III/24, dan Shahih Muslim, III/122).
2. Hadits dari Abu Hurairah:
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِين
 Artinya: Rasulullah Saw bersabda: ” Berpuasalah kalian karena melihatnya dan berbuka (tidak berpuasa) karena melihatnya pula. Dan jika awan (mendung) menutupi kalian, maka sempurnakanlah hitungan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari.”. (HR. al-Bukhari, III/24; dan Muslim, III/24).
3. ”Dari Amir Mekkah, Al Harits Ibnu Hatib. Dia berkata: Rasulullah SAW telah memerintahkan kami supaya puasa dengan melihat bulan. Jika kami tidak dapat melihat bulan itu, supaya kami puasa dengan kesaksian dua orang yang adil (yang melihat bulan).” (Riwayat Abu Daud dan Daruqutni).
4. Pendapat Imam mazhab empat, selain Syafe'i, yang mengatakan: "Tidak dapat dijadikan pegangan pendapat ahli hisab, maka tidak wajib berpuasa atas mereka dengan menggunakan hisab mereka. Juga tidak wajib berpuasa atas orang yang mempercayai pendapat ahli hisab, karena syari' (Nabi Muhammad saw) mengaitkan puasa atas tanda-tanda yang tetap yang tidak berubah selamanya. Tanda-tanda itu adalah melihat hilal atau menyempurnakan bilangan 30 hari. Adapun pendapat ahli hisab: maka sekalipun didasari atas kaidah-kaidah yang detil, maka kami memandangnya tidak tercatat/kuat, dengan dalil berbeda-bedanya pendapat mereka pada kebanyakan waktu". [Lihat: “Kitabu al- Fiqhi 'alaa Madzahibil Arba'ah” juz 1 hal 467].

Kelompok Hisab
                Diantara dalil-dalil yang menjadi pegangan kelompok ini adalah:
1. Firman Allah Swt dalam Q.s. Yunus ayat 5:
هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ
Artinya: “Dia-lah yang menjadikan Matahari bersinar dan Bulan bercahaya, dan ditetapkannya manazila (tempat-tempat) bagi perjalanan Bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan hisab (perhitungan waktu).”
2. Firman Allah Swt dalam Q.s. Al Isra’ ayat 12:
وَجَعَلْنَا اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ آيَتَيْنِ فَمَحَوْنَا آيَةَ اللَّيْلِ وَجَعَلْنَا آيَةَ النَّهَارِ مُبْصِرَةً لِتَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ وَلِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ وَكُلَّ شَيْءٍ فَصَّلْنَاهُ تَفْصِيلًا
 Artinya: Dan Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda, lalu Kami hapuskan tanda malam dan Kami jadikan tanda siang itu terang, agar kamu mencari karunia dari Tuhanmu, dan supaya kamu mengetahui bilangan tahun-tahun dan perhitungan. Dan segala sesuatu telah Kami terangkan dengan jelas.”
3. Firman Allah Swt dalam Q.s. Al An-am ayat 96:
فَالِقُ الْإِصْبَاحِ وَجَعَلَ اللَّيْلَ سَكَنًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ حُسْبَانًا ذَلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ
Artinya: Dia menyingsingkan pagi dan menjadikan malam untuk beristirahat, dan (menjadikan) matahari dan bulan untuk perhitungan. Itulah ketentuan Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.”
4. Firman Allah Swt dalam Q.s. Ar Rahman ayat 5:
الشَّمْسُ وَالْقَمَرُ بِحُسْبَانٍ
 Artinya:Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan.”
5. Firman Allah Swt dalam Q.s. Yasin ayat 39-40:
وَالْقَمَرَ قَدَّرْنَاهُ مَنَازِلَ حَتَّى عَادَ كَالْعُرْجُونِ الْقَدِيمِ (.) لَا الشَّمْسُ يَنْبَغِي لَهَا أَنْ تُدْرِكَ الْقَمَرَ وَلَا اللَّيْلُ سَابِقُ النَّهَارِ وَكُلٌّ فِي فَلَكٍ يَسْبَحُونَ
 Artinya:Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua. Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya.”
6. Firman Allah Swt dalam Q.s al-Baqarah:189:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الأهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجّ
Artinya: "Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji".
7. Hadist dari Ibnu Umar:
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لَا نَكْتُبُ وَلَا نَحْسُبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِي مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِينَ وَمَرَّةً ثَلَاثِينَ
Artinya : Sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda : "Sesungguhnya kami umat yang umi, tidak menulis dan idak berhisab. Bulan itu demikian dan demikian artinya satu kali 29 dan satu kali 30."  (HR Bukhori dan Muslim).
8. Pendapat asy-Syafeiah yang mengatakan: Pendapat ahli hisab itu mu'tabar (dapat dijadikan pegangan), baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang yang mempercayai si ahli hisab". [Lihat: “Kitabu al- Fiqhi 'alaa Madzahibil Arba'ah” juz 1 hal 467]

C.    Perbedaan teknis dari masing-masing metode
Teknis Rukyat
Seiring dengan perkembangan zaman dan perubahan waktu, kelompok Rukyat terbagi ke dalam beberapa kelompok kecil dalam segi pemahaman mereka tentang cara melihat hilal dan mathla’ (tempat melihat hilal) yang bisa saja menimbulkan berbagai perbedaan penentuan hari, juga dalam boleh tidaknya menggunakan alat bantu untuk melihat bulan.
a. Perbedaan cara melihat bulan:
- Kelompok pertama berpendapat, bahwa untuk melihat hilal itu harus dilakukan oleh sekumpulan orang banyak.
- Kelompok kedua berpendapat, bahwa untuk melihatnya cukup dilakukan oleh orang muslim yang adil.
- Sedangkan kelompok ketiga berpendapat, bahwa untuk melihatnya cukup dilakukan oleh satu orang yang adil.
b. Perbedaan tentang Mathla’ (tempat melihat hilal):
- Jumhur Ulama (Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Ahmad) berpendapat, bahwa jika hilal telah terlihat di satu negeri, maka wajib bagi seluruh kaum Muslimin yang bermukim di negeri lain untuk berpuasa pada 1 Ramadhan atau berbuka pada 1 syawal. Hal ini berdasarkan prinsip wihdatul matholi, yaitu bahwa mathla’ (tempat terbitnya bulan) itu merupakan satu kesatuan di seluruh dunia. Jadi bila ada satu tempat yang melihat bulan, maka seluruh dunia wajib mengikutinya.
- Sebagian besar ulama ‘asy-Syafi’iyah berpendapat, bahwa setiap negeri boleh melihat hilal di tempatnya masing-masing. Mereka beralasan bahwa subyek hadits “Berpuasalah karena melihat hilal dan berbukalah (berhari rayalah) karena melihatnya”, bersifat nisbi (relatif); karena hadits tersebut menunjukkan bahwa perintah berpuasa dan berbuka diperuntukkan kepada orang yang mengetahui hilal di daerahnya sendiri, adapun bagi orang yang tidak mendapati hilal di daerahnya sendiri (negara), maka yang demikian tidak berlaku. Hal ini didasarkan atas dalil naql dan akal secara perhitungan hisab. Dan untuk ukuran jauh dekatnya adalah 133,057 km. Atau tepatnya secara literatur klasik adalah 24 farsakh. 1 farsakh = 3 mil, atau bila dalam hitungan meter 1 farsakh = 5.544 meter. Jadi 24 farsakh sama dengan 5.544 x 24 = 133,057 km.
- Pendapat ketiga, berpendapat, bahwa apabila suatu negara mathla’nya berbeda dengan negera lainnya, maka masing-masing negara memiliki ru’yat al-hilal (penentuan awal dan akhir bulan) sendiri- sendiri. Sedangkan apabila mathla’nya sama (tidak berbeda), maka bagi siapa saja yang belum melihat hilal wajib mengikuti ketetapan ru’yah hilal tempat yang lain. Dengan kata lain pendapat ini hampir sama dengan pendapat yang kedua, hanya saja tidak dibatasi oleh teretorial negara, sehingga di mana negara yang jaraknya berjauhan harus melihat hilal di tempat masing-masing. Dan tidak untuk negara yang berdekatan, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Qudamah dalam kitab al-Mughni, 4/328. Namun demikian ulama yang berpendapat demikian berselisih pendapat dalam menetapkan jarak jauh dekatnya. Ada yang mengaitkannya dengan jarak bolehnya mengqashar shalat. Dan ada yang mengatakan apabila berita terlihat hilal dapat sampai ke tempat tersebut pada malam itu juga, dan pendapat lainnya.
c. Perbedaan tentang penggunaan alat bantu:
- Pendapat pertama, menganggap bahwa dalam melihat bulan tersebut tidak boleh mempergunakan alat apapun.
- Pendapat kedua, melihat bahwa alat bantu boleh digunakan selama tidak menggunakan cara pemantulan, baik melalui permukaan kaca (lensa) ataupun permukaan air (miratin).
- Sedangkan pendapat ketiga, membolehkan penggunaan alat apapun yang bisa di gunakan untuk membantu mendekatkan atau memperbesar melihat bulan sepeti: teleskop, air dsb.

Teknis Hisab
                Seperti halnya pada kelompok Ru’yatu al-Hilal, kelompok inipun terbagi ke dalam beberapa kelompok kecil, jika dilihat dari penggunaan metode-metode dan temuan data tentang gerakan benda-benda langit –terutama Matahari, Bulan dan Bumi– yang menjadi acuan hisabnya, yakni mulai dari temuan Sultan Ulugh Beyk di abad ke-14 Masehi (abad ke-9 Hijriyah) hingga temuan-temuan astronomis di abad ke-20. Namun secara umum dapat dibedakan menjadi dua katagori, yaitu :
a. Ilmu Hisab ‘Urfi
 Yaitu metode perhitungan yang menggunakan kaidah-kaidah sederhana. Dengan melihat umur rata-rata bulan, yaitu sekitar 29,53 hari, metode ini menentukan bahwa jumlah hari suatu bulan harus bersilang antara 29 dan 30. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah Saw :
... الشهر هكذا وهكذا مرة تسعة وعشرين ومرة ثلاثين
Artinya : « … bulan itu seperti begini dan begini sesekali 29 hari dan sesekali 30 hari »
Metode ini untuk pertama kalinya di tetapkan oleh Umar bin Khattab pada tahun 17 H.
b. Ilmu Hisab Hakiki
            Yaitu metode perhitungan yang didasarkan pada peredaran bulan dan bumi yang sebenarnya.
                Ilmu hisab hakiki ini terbagi ke dalam beberapa metode dan  temuan :
1. Ilmu Hisab Hakiki Taqribi. Yang termasuk kelompok ini antara lain Sullamun Nayyirayn oleh Muhammad manshur Ibn Abdil Hamid ibn Muhammad ad-Damiri al-batawi dan Fathur Rauful Mannan oleh KH Dahlan Semarang.
2. Ilmu Hisab Hakiki Tahqiqi. Yang termasuk kelompok ini antara lain Khulashotul Wafiyah oleh KH Zubeir, Badi’atul Mitsal oleh KH Ma’shum dan Nurul Anwar oleh KH Nur Ahmad.
3. Ilmu Hisab Hakiki Wujudu al-Hilal. Metode ini dikembangkan dan dipedomani oleh Organisasi Muhammadiyah.
4. Ilmu Hisab Hakiki Tahqiqi Kontemporer. Yang termasuk kelompok ini antara lain New Comb, Astronomic Almanac, Nautical Almanac dan Islamic Calender serta Astronomical Formula for Computer.

Hisab Hakiki Wujud al-Hilal
Hisab Hakiki Wujudul al-Hilal adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah dengan menggunakan prinsip: Ijtimak (konjungsi) telah terjadi sebelum Matahari terbenam (ijtima’ qablal ghurub), saat matahari terbenam bulan sudah berada di garis ufuk dengan tanpa melihat derajat ketinggiannya (irtifa’), dan Bulan terbenam setelah Matahari terbenam (moonset after sunset); maka pada petang hari tersebut dinyatakan sebagai awal bulan (kalender) Hijriyah.
Hisab hakiki wujudul al-hilal ini untuk pertama kalinya ditawarkan oleh Muhammad Wardan dalam bukunya yang berjudul “Hisab Urfi dan Hakiki” yang di cetak pada tahun 1957 M. Di dalam bukunya dijelaskan, bahwa ada tiga cara menetapkan tanggal satu bulan baru, yaitu: bila saat terbenam matahari (sunset) pada akhir bulan, hilal telah tampak, artinya benar-benar terlihat (rukyah) atau kemungkinan dapat dilihat meskipun tidak terlihat (imkanur rukyah), atau hilal sudah wujud (meskipun tidak bisa terlihat oleh mata).
Kemudian Muhammadiyah salah satu ormas besar di Indonesia mengembangkan sistem wujudu al-hilal ini, dengan beberapa alasan, diantanya:
1.     Belum adanya consensus dalam masalah kriteria Imkan ar-Rukyat, karena meskipun metode hisab sama; namun bila kriteria Imkan al-Rukyatnya berbeda hasilnya bisa berbeda 1 hari.
2.     Sistem wujudul hilal merupakan sikap tengah dari dua konsep penentuan awal bulan Qamariyah, yaitu antara sistem ijtima’ qablal ghurub (sudah menganggap bulan baru ketika terjadi ijtimak sebelum terbenam matahari meski hilal belum wujud pada saat matahari terbenam) dan sistem imkanur rukyah (menganggap bulan baru jika kemungkinan hilal bisa dilihat). Karena Wujudul al-Hilal menetapkan kriteria ijtimak sudah terjadi dan hilal harus sudah wujud, ketika matahari tenggelam, meski tidak bisa terlihat–karena keterbatasan mata manusia.
3.     Wujudul hilal menempati posisi tengah-tengah antara sistem hisab murni (tidak mempedulikan terjadinya hilal) dan sistem rukyah murni (sangat mempeduliakn terlihatnya hilal). Wujudul hilal berada di tengah-tengah dua sistem di atas yang mempedulikan hilal meski tidak terlihat.
Jadi Muhammadiyah menganut teori bahwa derajat bukanlah patokan untuk melihat hilal, sebab perkara tersebut sangat relatif. Oleh karena itu Wujudul al-Hilal bukan untuk menentukan atau memperkirakan hilal mungkin bisa dilihat atau tidak, tetapi menjadi dasar dalam penetapan awal bulan Qamariyah dan sekaligus dijadikan bukti bulan baru Qamariyah sudah masuk atau belum.
Namun demikian Muhammadiyah tidak menyatakan bahwa sistem Ru’yat al-Hilal itu tidak boleh digunakan, hal ini bisa di lihat dari beberapa putusan tarjihnya. Dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT) Muhammadiyah tahun 1932 Bab Puasa disebutkan sebuah kaidah; "al-shaumu wa'l fitru bil rukyah, wa lâ mâni'a bil hisâb" (Puasa dan berbuka dengan cara rukyah, akan tetapi tidak masalah jika menggunakan hisab). Dari kaidah ini dapat dipahami bahwa pada awalnya Muhammadiyah lebih menggunakan rukyah sebagai metode dalam penentuan awal bulan hijriyah, sekalipun saat itu hisab tidaklah diharamkan. Namun seiring dengan perkembangan waktu yang dibarengi dengan perkembangan teknologi, Muhammadiyah pun merubah konsep tersebut. Pada Munas Tarjih tahun 2000 di Jakarta muncul kecendrungan yang lebih mengakomodir hisab secara lebih jauh sehingga lahirlah keputusan tarjih yang meletakkan hisab sejajar dengan rukyah.
Bisa kita simak, bahwa Muhammadiyah dalam tataran teoritis tidak mengeliminasi metode Rukyat; akan tetapi mensejajarkannya dengan metode Hisab. Jadi hanya dalam relitas praksisnya saja Muhammadiyah mengutamakan Hisab daripada Rukyah secara penuh. Hal ini tentunya di dasari dengan beberapa alasan, diantaranya:
1.         Adanya beberapa kesulitan dalam penggunaan ruk’yat, sedangkan agama Islam bukanlah agama yang sempit, maka hisab bisa digunakan dalam penentuan bulan Qomariah. Kesulitan itu tampak di karenakan:
     - Jauhnya jarak hilal (bulan) dari permukaan bumi (mencapai sekitar 40.000 kilometer), sementara bulan hanya mengisi sudut sekitar 2 ½ derajat yang berarti hanya mengisi 1/80 sudut pandang mata manusia tanpa menggunakan alat. Ini berarti hilal hanya mengisi sekitar 1,25 % dari pandangan, oleh sebab itu pengaruh benda sekitar yang mengisi 98,75 % sangatlah besar.
     - Hilal hadir hanya sebentar saja (sekitar 15 menit s.d. 1 jam), padahal pandangan mata sering terhalang oleh awan yang banyak terdapat di negara tropis dan basah karena banyaknya lautan seperti Indonesia. Karena lembabnya permukaan lautan maupun daratan didekatnya maka hasil penguapannya membentuk awan yang mengumpul di dekat permukaan disekitar ufuk. Justru pada ketinggian yang rendah disekitar ufuk inilah hilal diharapkan hadir dan dapat dilihat.
     - Keadaan lain yang menyulitkan pelaksanaan rukyah hilal adalah kondisi sore hari, terutama yang menyangkut pencahayaan, karena kemuncuan hilal sangat singkat maka rukyah harus dilaksanakan secepat mungkin setelah matahari terbenam. Pada saat itu meskipun matahari sudah di bawah ufuk, cahayanya masih terlihat benderang, selanjutnya akan muncul cahaya kuning keemasan (cerlang petang). Cahaya ini sangat kuat dan nyaris menenggelamkan cahaya hilal yang sangat redup.
     - Banyaknya penghalang di udara berupa awan, asap kenderaan, asap pabrik, dll.
     - Kesulitan lainnya, hilal pada umumnya terletak tidak jauh dari arah matahari, yaitu hanya beberapa derajat ke sebelah utara atau selatan tempat terbenamnya matahari.
     - Adanya faktor psikis (kejiwaan/mental), sebab melihat adalah gabungan antara proses jasmani dan proses rohani (psikis), yang dominan adalah proses psikis. Sekalipun ada benda, citra benda di selaput jala dan isyarat listrik yang menyusuri urat saraf menuju otak, seseorang tidak akan melihat apapun jika otaknya tidak siap, misalnya karena melamun, maka dalam hal ini proses psikis tidak terjadi, sehingga proses melihat tidak terjadi pula. Sebaliknya, meskipun proses psikis tidak ada -misalnya bendanya tidak ada sehingga tidak ada citra benda, tidak ada isyarat optik maupun listrik- jika proses mentalnya hadir, maka ia ‘merasa’ dan kemudian ‘mengaku’ melihat. Dalam ilmu psikologi, proses ini dikenal dengan istilah halusinasi, yaitu berupa perasaan ingin sekali berjumpa atau sangat rindu pada benda yang akan dilihat, atau merasa yakin bahwa bendanya pasti ada. Jika terhadap benda yang besar seperti manusia, gunung, gedung, dll. bisa salah lihat, apalagi terhadap hilal yang jauh lebih kecil bahkan redup.
2.         Validitas dan akurasi ilmu falak/hisab untuk saat ini sudah sangat precise dan akurat, terbukti bahwa kita sudah bisa melakukan prediksi dengan akurat kapan gerhana, dimana bisa dilihat dan untuk berapa lama.
3.         Muhammadiyah memandang bahwa penentuan awal bulan hijriyah masuk ke domain aktivitas ta'aquliy, sehingga otomatis rukyah bukanlah ibadah.
4.         Muhammadiyah dengan semangat pembaharuan (tajdid) nya meyakini bahwa ilmu pengetahuan adalah salah satu wasîlah yang bisa digunakan untuk beribadah, sehingga dimensi normatif dari nash-nash al-Quran bisa selalu dikaitkan dengan dimensi ideal peradaban manusia.
Sedangkan mengenai masalah matla’ Muhammadiyah mengambil pandangan ulama yang berpendapat bahwa penentuan matla’ bersifat local bukan global/ internasional. Hal ini sejalan dengan yang dipedomnani oleh ormas Nahdatul Ulama.

Kesimpulan
                Dari uraian di atas sangat jelas sekali, bahwa baik itu metode Rukyat al-Hilal maupun Hisab,  memiliki dalil-dalil yang sama-sama tidak bisa disalahkan satu sama lainnya, dan dalam segi teknis keduanya terbagi kedalam beberapa kelompok kecil yang berbeda-beda. Oleh karena itu kita –baik itu yang menyokong kelompok Ru’yah ataupun Hisab- harus berbesar hati dalam menyikapi perbedaan ini, sehingga hal-hal yang tidak diinginkan dari dampak yang bisa timbul dari sikap ta’asub masing-masing dari kita tidak terjadi, yaitu ta’asub yang berujung kepada menjelek-jelekan kelompok lain yang berlebihan. 
Perlu kita sadari  bahwa hal yang terpenting dari penggunaan dua cara tersebut (Ru’yah dan Hisab) adalah cara melihat bulan; kelompok Ru’yah melihat bulan dengan mata langsung atau alat bantu melihat, sedangkan ahli Hisab melihat bulan dengan memakai ilmu, karena mereka melihat bahwa hadits-hadits tentang rukyat tersebut di atas, terlihatnya hilal tidak dimaksudkan hanya sekedar hilal sudah terlihat oleh mata, dan pada kenyataannya hilal memang benar-benar sudah terlihat oleh mata, tetapi lebih dari itu adalah sebagai pertanda secara kasat mata bahwa pada saat terbenamnya, Matahari benar-benar telah terkejar oleh Bulan.
Dengan demikian sistem hisab –khususnya sisitem wujudul hilal- menempatkan penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an sebagai acuan pertama dan utama, sedangkan penafsiran hadits-hadits rukyat dimaknai sebagai penjelas dan penafsir ayat-ayat suci Al-Qur’an.
Dan yang perlu kita perhatikan dalam mengkondusivkan perbedaan ini adalah bahwa hasil-hasil yang sering diperoleh dan diputuskan sebagai penentuan puasa Ramadahan  oleh kedua kelompok tersebut, tidak pernah kurang dari 29 hari, terkadang 29 dan atau 30. Ini berarti bahwa secara sasaran, keduanya tidak keluar dari jumlah hari yang harus dilalui oleh orang yang berpuasa, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah saw yang telah banyak melaksanakan puasa dengan 29 hari.
Oleh karea itu, yang harus menjadi perhatian kedua belah pihak dalam masalah perbedaan metode penentuan awal Ramadhan, Sawal dan Dzulhijjah adalah bukan siapa yang paling benar atau faktor fiqih lagi; akan tetapi faktor apa yang bisa menjadikan umat ini tidak berada dalam kebimbangan, tanda tanya dan bahkan saling menghina satu sama lainnya akibat perbedaan tersebut. Untuk itu keduanya harus sama-sama ada usaha-usaha kearah salah satu diantara dua solusi pilihan: persetujuan dalam penyatuan atau persetujuan dengan perbedaan. Kalau memilih usaha pertama,  cara yang  paling baik adalah dengan melibatkan pihak ke tiga yaitu pemerintah sebagai satu-satunya lembaga yang mempunyai hak otoritas secara politis dalam penentuan bulan Qomariah tersebut. Sedangkan apabila usaha kedua yang menjadi pilihan, maka yang harus menjadi prioritas utama dari kedua belah pihak adalah cara memahamkan masyarakat umum/awam akan keabsahan dan hikmah dari dua metode penentuan bulan Qomariah tersebut, sehingga kita semua bisa menerima perbedaan tersebut dengan lapang dada.  
Wallahu A’lam bi as-Shawab.  

No comments:

Post a Comment