Thursday, 26 March 2020

Benarkah kewajiban shalat berjamaah dan shalat jum'at tidak gugur dalam kondisi perang militer yang sangat mencekam, sehingga kewajiban keduanya tidak gugur juga dalam kondisi penyebaran covid 19 di zona merah?


Diantara pernyataan  yang dijadikan landasan untuk memilih tetap melaksanakan shalat berjama'ah dan jum'ah ketika berada di wilayah zona merah penyebaran virus corona adalah suatu pendapat yang mengatakan bahwa:

"Kewajiban shalat berjamaah dan shalat jumat tidak gugur dalam kondisi perang militer yang sangat mencekam. Bagaimana mungkin kewajiban itu bisa gugur hanya karena kekhawatiran yang belum pasti."
Pendapatnya ini di dasarkannya pada QS. An-Nisa (4): 102

《...وَإِذا كُنْتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلاةَ فَلْتَقُمْ طائِفَةٌ مِنْهُمْ مَعَكَ》

Artinya: "Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu), lalu kamu hendak mendirikan salat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (salat) besertamu... "

Namun apabila kita perhatikan riwayat-riwayat terkait bagaimana cara melaksanakan shalat pada saat sedang ada dalam situasi perang melawan musuh, maka sebagaimana dipaparkan oleh Imam Ibnu Katsir di dalam penafsiran bi ar-riwayahnya terkait ayat ini (QS. An-Nisa (4): 102), ternyata ada beberapa cara.

Dan ternyata juga ADA YANG DIKERJAKAN SECARA BERJAMA'AH, ADA JUGA YANG SECARA SENDIRI-SENDIRI (TIDAK BERJAMA'AH). Hal itu tergantung pada keadaan situasi dan kondisi perangnya.

Inilah penggalan penafsiran Imam Ibnu Katsir tersebut:

"Salat Khauf banyak ragamnya, karena sesungguhnya musuh itu adakalanya berada di arah kiblat, dan adakalanya berada di lain arah. Salat itu adakalanya terdiri atas empat rakaat, adakalanya tiga rakaat (seperti salat Magrib), dan adakalanya dua rakaat (seperti salat Subuh dan salat Safar). Kemudian adakalanya MEREKA MELAKUKAN SHALAT DENGAN BERJAMA'AH, adakalanya PERANG SEDANG BERKECAMUK, SEHINGGA MEREKA TIDAK DAPAT BERJAMA'AH, MELAINKAN MASING-MASING SHALAT SENDIRIAN dengan menghadap ke arah kiblat atau ke arah lainnya, baik dengan berjalan kaki ataupun berkendaraan."

"Di antara ulama ada yang membolehkan mengakhirkan salat karena uzur peperangan dan sibuk menghadapi musuh, seperti yang dilakukan oleh Nabi Saw.; beliau mengakhirkan salat Lohor dan Asar dalam Perang Ahzab dan mengerjakannya sesudah Magrib. Kemudian beliau melakukan salat Magrib dan Isya sesudahnya. Juga seperti yang disabdakannya sesudah itu (yakni dalam Perang Bani Quraizah) ketika beliau mempersiapkan pasukan kaum muslim untuk menghadapi mereka. Beliau Saw. bersabda: "Jangan sekali-kali seseorang di antara kalian salat Asar, melainkan di tempat Bani Quraizah." 

"Imam Bukhari di dalam kitab sahihnya, yaitu dalam Bab "Salat di Saat Mengepung Benteng dan Bersua dengan Musuh". Disebutkan bahwa Al-Auza'i mengatakan, "Jika kemenangan berada di tangan dan mereka tidak mampu melakukan salat, hendaklah mereka salat dengan memakai isyarat, MASING - MASING ORANG MENGERJAKANNYA SENDIRI-SENDIRI. Jika mereka tidak mampu memakai isyarat, hendaklah mereka mengakhirkan salat sampai peperangan terhenti atau situasi aman dan terkendali, baru mereka melakukan salatnya dua rakaat. Jika dua rakaat tidak mampu mereka kerjakan, maka cukup dengan satu rakaat dan dua kali sujud. Jika hal itu tidak mampu juga mereka kerjakan (karena keadaan masih sangat genting), maka tidak cukup bagi mereka mengerjakan salatnya hanya dengan takbir, melainkan mereka harus mengakhirkannya hingga keadaan benar-benar aman." Hal ini dikatakan oleh Makhul."

Kesimpulannya:
Setelah kita mengetahui beberapa riwayat terkait cara melaksanakan shalat saat perang melawan musuh itu ternyata ada yang dilaksanakan dengan berjama'ah, ada juga yang hanya dengan sendiri-sendiri), tergantung keadaan perangnya, maka apakah kita masih akan menjadikan pernyataan bahwa "kewajiban shalat berjamaah dan shalat jumat tidak gugur dalam kondisi perang militer yang sangat mencekam" itu sebagai landasan untuk memilih tetap melaksanakan shalat berjama'ah dan jum'ah ketika berada di wilayah zona merah penyebaran virus corona? 

صلاة الخوف أنواع كثيرة ، فإن العدو تارة يكون تجاه القبلة ، وتارة يكون في غير صوبها ، والصلاة تارة تكون رباعية ، وتارة ثلاثية كالمغرب ، وتارة ثنائية ، كالصبح وصلاة السفر ، ثم تارة يصلون جماعة ، وتارة يلتحم الحرب فلا يقدرون على الجماعة ، بل يصلون فرادى مستقبلي القبلة وغير مستقبليها ، ورجالا وركبانا ، ولهم أن يمشوا والحالة هذه ويضربوا الضرب المتتابع في متن الصلاة .

ومن العلماء من أباح تأخير الصلاة لعذر القتال والمناجزة ، كما أخر النبي صلى الله عليه وسلم يوم الأحزاب صلاة العصر ، قيل : والظهر ، فصلاهما بعد الغروب ، ثم صلى بعدهما المغرب ثم العشاء . وكما قال بعدها - يوم بني قريظة ، حين جهز إليهم الجيش - : " لا يصلين أحد منكم العصر إلا في بني قريظة " 

حكاه البخاري رحمه الله ، في صحيحه ، حيث قال :
" باب الصلاة عند مناهضة الحصون ولقاء العدو " : قال الأوزاعي : إن كان تهيأ الفتح ولم يقدروا على الصلاة ، صلوا إيماء ، كل امرئ لنفسه ، فإن لم يقدروا على الإيماء أخروا الصلاة حتى ينكشف القتال ، أو يأمنوا فيصلوا ركعتين . فإن لم يقدروا صلوا ركعة وسجدتين ، فإن لم يقدروا لا يجزئهم التكبير ، ويؤخرونها حتى يأمنوا . وبه قال مكحول

No comments:

Post a Comment