Monday, 23 March 2020

Apakah diperbolehkan meninggalkan shalat berjama'ah dan jum'at di masjid, juga menutup masjidnya di wilayan zona merah penyebaran wabah?


(Disarikan oleh Nabil Abdurahman dari beberapa sumber dan fatwa para ulama)

Berikut ini adalah beberapa keterangan terkait diperbolehkannya meninggalkan shalat berjama'ah dan shalat jum'at di masjid, serta menutup masjidnya ketika suatu wilayah telah ditetapkan sebagai zona merah penyebaran wabah yang tidak terkendali dan tak terdeteksi secara secara menyeluruh

A. Keterangan terkait isyarat diperbolehkannya memilih berdiam diri di rumah dan tidak melaksanakan shalat berjama'ah dan jum'at di masjid di wilayah zona merah penyebaran wabah

1. Keterangan berupa isyarat yang dapat kita fahami dari beberapa hadits Rasulullah Saw., diantaranya:

a. Keumuman hadits anjuran untuk berdiam diri di rumah selama ada penyebaran wabah:

عَنْ عَائِشَةَ -رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا-، أَنَّهَا قَالَتْ : سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الطَّاعُونِ، فَأَخْبَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : " أَنَّهُ كَانَ عَذَابًا يَبْعَثُهُ اللَّهُ عَلَى مَنْ يَشَاءُ، فَجَعَلَهُ رَحْمَةً لِلْمُؤْمِنِينَ، فَلَيْسَ مِنْ رَجُلٍ يَقَعُ الطَّاعُونُ، *فَيَمْكُثُ فِي بَيْتِهِ صَابِرًا مُحْتَسِبًا* يَعْلَمُ أَنَّهُ لَا يُصِيبُهُ إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَهُ، إِلَّا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ الشَّهِيدِ ".

Dari Aisyah ra., bahwasanya dia berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang wabah (tha'un), maka Rasulullah Saw. mengabarkan kepadaku:
"Bahwasannya wabah (tha'un) itu adalah adzab yang Allah kirim kepada siapa yang Dia kehendaki, dan Allah jadikan sebagai rahmat bagi orang-orang beriman. Tidaklah seseorang yang ketika terjadi wabah (tha'un) *dia tinggal di rumahnya, bersabar dan berharap pahala (di sisi Allah)* dia yakin bahwasanya tidak akan menimpanya kecuali apa yang ditetapkan Allah untuknya, maka dia akan mendapatkan seperti pahala syahid".
(Sanadnya shahih sesuai dengan syarat Al-Bukhari. Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (3474), An-Nasa'i dalam As-Sunan Al-Kubra (7527), Ahmad (26139) dan lafadz ini adalah lafadz riwayat Ahmad.

Ibnu Hajar ra. berkata:  konsekuensi manthuq (makna eksplisit) hadits ini adalah orang yang memiliki sifat yang disebut pada hadits tersebut akan mendapatkan pahala syahid walaupun tidak meninggal dunia. (Fathul Bari: 10:194)).

Isyarat dari hadits ini bisa difahami bahwa anjuran untuk berdiam diri di rumah itu bersifat umum, tanpa ada pengecualian, termasuk pengecualian untuk pergi ke masjid dalam rangka melaksanakan shalat berjama'ah dan jum'at.

b. Nabi Saw menyuruh untuk menjauhi orang yang terkena penyakit kusta yang menular, seperti menjauhi ganasnya singa:

فِرَّ مِنَ الْمَجْذُومِ فِرَارَكَ مِنَ الْأَسَدِ


“Larilah dari orang yang kusta sebagaimana engkau lari dari singa”
(HR. Ahmad no 9722 dan dishahihkan oleh al-Arnauth dan Al-Albani di As-Shahihah no 783)

Isyarat dari hadits ini: apabila di suatu wilayah ada penyebaran wabah yang tidak terkendali dan tidak terdeteksi keseluruhan siapa saja orang-orang yang terpaparnya, maka menjaga jarak dengan orang-orang yang belum diketahui terpapar tidaknya wabah tersebut merupakan ikhtiar dalam rangka menjauhi dari kemungkinan bisa terpapar virus tersebut, termasuk juga menjaga jarak dari kerumun orang-orang dalam rangka melaksanakan shalat berjama'ah dan jum'at di masjid.

c. Larangan Nabi Saw. agar jangan melakukan kemadharatan pada diri sendiri dan juga memadharatkan orang lain:

لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ

“Tidak boleh melakukan kemadharatan pada diri sendiri dan juga memadharatkan orang lain” (HR. Ibnu Majah)

Isyarat dari hadits ini: apabila orang-orang takut terkena kemadharatan orang lain pada diri mereka, seperti terkena wabah, maka mereka tidak boleh mendekati/harus menjaga jarak dengan orang yang terkena wabah. Namun apabila orang-orang yang terkena wabah itu belum bisa dipastikan siapa-siapa saja, maka berarti keharusan menjauhi/menjaga jarak dengan orang-orang tersebutpun berlaku juga, termasuk menjaga jarak dalam aktifitas berjama'ah dan shalat jum'ah di masjid.

d. Adanya beberapa hadits yang membolehkan untuk tidak melaksanakan shalat berjama'ah di masjid ketika ada udzur syar'i, seperti: hujan, takut, sakit, angin kencang, bau mulut karena memakan bawang:

 عن ابن عباس من قول النبى صلى الله عليه وسلم: "مَنْ سَمِعَ المنادِى فَلَمْ يَمْنَعْهُ مِنَ اتِّبَاعِهِ، عُذْرٌ"، قَالُوا: وَمَا الْعُذْرُ؟ قَالَ: "خَوْفٌ أَوْ مَرَضٌ، لَمْ تُقْبَلْ مِنْهُ الصَّلَاةُ الَّتِى صَلَّى

Dari Ibnu 'Abas ra., bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa yang mendengar azan dan tidak punya alasan sehingga tidak mejawabnya (mendatanginya) para sahabat bertanya: Apakah alasan (udzhur) itu? Beliau menjawab: " Takut atau sakit-, maka tidak diterima salat yang dia kerjakan." (HR. Abu Daud) 

‎مَنْ أَكَلَ ثُومًا أَوْ بَصَلًا فَلْيَعْتَزِلْنَا أَوْ لِيَعْتَزِلْ مَسْجِدَنَا وَلْيَقْعُدْ في بَيْتِهِ

Barangsiapa memakan bawang putih atau bawang merah, maka janganlah ia mendekati masjid kami dan hendaklah ia shalat di rumahnya”.  (HR. Al-Bukhari)

Dan para ulama berpandangan bahwa semua udzur yang membolehkan untuk meninggalkan shalat berjama'ah, itulah juga udzur yangmembolehkan meninggalkan shalat jum'at:

أَعْذَارٌ فِي تَرْكِ الْجَمَاعَةِ، هِيَ أَعْذَارٌ فِي تَرْكِ الْجُمْعَةِ، فَلاَ تَجِبُ الْجُمْعَةُ عَلَى خَائِفٍ عَلَى نَفْسِهِ أَوْ مَالِهِ، وَلاَ عَلَى مَنْ فِي طَرِيْقِهِ مَطَرٌ، وَلاَ عَلَى مَنْ لَهُ مَرِيْضٌ يَخَافُ ضَيَاعَهُ

“Udzur-udzur yang membolehkan meninggalkan shalat berjama'ah itulah udzur untuk meninggalkan shalat jum'at. Maka tidak wajib jum'at bagi orang yang takut atas (keburukan menimpa) dirinya, atau menimpa hartanya, demikian juga orang yang kehujanan dalam perjalanannya (menunju masjid), demikian orang yang sedang mengurusi orang sakit yang dikawatirkan akan terlalaikan (jika ia meninggalkannya untuk shalat jumát)”
(Al-Bayaan fi madzhab al-Imam Asyafií 2/545).

Isyarat dari hadits-hadits tersebut: jika becek, hujan dan bau mulut saja bisa menjadi udzur untuk meninggalkan/agar jangan melaksanakan shalat berjama'ah, begitu juga shalat jum'ah di masjid, maka apalagi udzurnya berupa kekhawatiran terkena wabah yang bisa merenggut nyawa, bukan nyawa sendiri bahkan nyawa keluarga dan banyak orang karena resiko penularan yang begitu cepat dan belum terdeksinya siapa saja yang terpapar wabah secara keseluruhan.

2. Keterangan dari Tokoh Tabi'in

Dalam suatu riwayat yang dinukil Ibnu Sa'ad dalam kitabnya "Ath-Thabaqat" dikatakan bahwa salah seorang tokoh besar kalangan tabi'in, yaitu Masruq bin al-Ajda' ra., telah memilih untuk tinggal diam di rumahnya ketika ada wabah menyebar di daerahnya. Selama diam di rumahnya tersebut, ia pun banyak sekali melaksankan ibadah, khusuanya shalat:

التابعي الجليل مَسْرُوق بن الأجدع الوادعي رحمه الله:
كان يمكث في بيته أيام الطَّاعُونِ ويَقُولُ: أَيَّامُ تَشَاغُلٍ فَأُحِبُّ أَنْ أَخْلُوَ لِلْعِبَادَةِ فَكَانَ يَتَنَحَّى فَيَخْلُو لِلْعِبَادَةِ ,
قَالَت زوجته: فَرُبَّمَا جَلَسْتُ خَلْفَهُ أَبْكِي مِمَّا أَرَاهُ يَصْنَعُ بِنَفْسِهِ وَكَانَ يُصَلِّي حَتَّى تَوَرَّمَ قَدَمَاهُ".
(الطبقات لابن سعد ج٦ ص٨١)

Isyarat riwayat ini: ketika Masruq ra. diriwayatkan melaksanakan ibadah shalat secara umum di rumah selama terjadinya wabah, maka itu mengindikasikan bahwa ia tidak melaksanakan shalat berjama'ah di masjid, termasuk juga shalat jum'at.

3. Keterangan dari riwayat Ibnu Hajat al-Atsqalani ketika beliau melarang dan membid'ahkan berkumpul untuk berdoa dan beristighotsah di suatu tempat (sebuah lapangan) untuk menolak bala' ketika terjadinya wabah (Tha'ûn) sebagaimana praktek Istisqa' (diawali puasa 3 hari).

Dimana pada masa beliau hidup, yaitu pada tahun 833 H telah terjadi wabah di Mesir. Dan pada tanggal 27 Rabî'ul Akhir tahun tahum tersebut, di Kairo telah terjadi pengumpulan massa untuk doa bersama.  Begitu pula pada tanggal 4 Jumâdal Ûlâ masyarakat diperintahkan keluar ke lapangan, dimana sebelumnya dianjurkan untuk bepuasa dulu selama 3 hari, lalu sholat dan berdoa.

Namun tak berselang beberapa hari setelah acara tersebut, korban jiwa justru menjadi bertambah pesat, dari yang sebelumnya kurang dari 40 orang menjadi membengkak lebih dari 1000 lebih nyawa melayang.
(Kitab  بذل الماعون في  فضل الطاعون  hal. 328-330)

Isyarat riwayat ini: apabila berkumpul untuk melaksanakan istighasah dan shalat berjama'ah untuk talak bala' wabah dilarang oleh Ibnu Hajar, maka mengindikasikan bahwa berkumpul untuk melaksanakan shalat berjama'ah di mesjidpun di larang, termasuk berjama'ah shalat jum'at.

B. Keterangan terkait adanya pelaksanaan penutupan masjid di wilayah zona merah penyebaran wabah pada masa lalu, yang mengisyaratkan diperbolehkannya menutup masjid di wilayah dengan zona penyebaran wabah seperti itu oleh beberapa ulama pada masa itu

1. Keterangan dari riwayat Imam adz-Dzahabi, bahwa ketika terjadi kekeringan yang sangat dahsyat di Mesir dan Andalusia, juga kekeringan dan wabah di Cordoba pada tahun 448 H, masjid-masjid ditutup tanpa ada ada seorangpun melaksanakan shalat di dalamnya:

قال العلامة المؤرّخ الذهبي رحمه الله تعالى:
وفي سنةِ ثمانٍ وأربعين وأربعمائةٍ كَانَ القَحْطُ عَظِيْماً بِمِصْرَ وَبَالأَنْدَلُس، وَمَا عُهِدَ قَحْطٌ وَلاَ وَبَاءٌ مِثْله بقُرْطُبَة، حَتَّى بَقِيَت المَسَاجِدُ مغلقَة بِلاَ مُصَلٍّ، وَسُمِّيَ عَام الْجُوع الكَبِيْر.
(ينظر سير أعلام النبلاء (18/311), طبعة الرسالة من الشاملة.) 

2. Keterangan dari riwayat Al-Muqrizi, bahwa ketika terjadi wabah di Mesir pada tahun 749 H, masjid-masjid ditutup, dan kumandang adzanpun hanya dari satu tempat saja

يقول المقريزي عن طاعون  سنة 749 بمصر :
"و تعطل الأذان من عدة مواضع وبقي في الموضع المشهور بأذان واحد... و غلقت أكثر المساجد و الزوايا".
( السلوك لمعرفة دول الملوك 88/4)

Wallahu a'lam bi as-shawab.

No comments:

Post a Comment