(https://minanews.net)
Oleh: Nabil Abdurahman
A. Definisi amanah
Kata amanah merupakan kata serapan dari bahasa arab yang digunakan untuk menunjuk makna kepercayaan, jujur dan setia dalam menjalankan sesuatu tugas dan tanggung jawab. Dalam bahasa Arab sendiri kata ini berasal dari akar kata أمُن-يأمُن-أمانة yang bermakna ضدّ الخيانة (lawan kata khianat).
Adapun definisi amanah berdasarkan ayat-ayat rujukan diatas (QS. Al-Ahzab: 72, Anisaa: 4 dan Al-Mu’minuun: 32) adalah:
1. Ketaatan-ketaatan dan kewajiban-kewajiban syari’at agama yang dibebankan Allah swt kepada hamba-Nya yang Mukallaf, seperti kewajiban shalat, puasa, zakat dan seluruh kewajiaban-kewajiban lainnya.
2. Kepercayaan yang dialamatkan kepada orang lain sehingga muncul ketenangan hati tanpa kekhawatiran sama sekali.
B. Amanah Allah kepada manusia
Pada surat Al-Ahzab [33] ayat 72 Allah swt menjelaskan mengenai amanah yang dibebankan oleh-Nya kepada manusi.
Amanah tersebut berupa ketaatan-ketaatan dan kewajiban-kewajiban syari’at agama yang harus dilaksanakan oleh para Mukallaf, seperti kewajiban shalat, zakat, puasa dan seluruh kewajiaban-kewajiban lainnya.
Amanah tersebut tidaklah ringan bagi manusia, karena sebelum ditawarkan kepadanya Allah swt telah menawarkannya dalam bentuk pilihan, bukan keharusan, kepada tiga makhluk-Nya yang besar, yaitu: langit, bumi dan gunung, dengan catatan apabila mereka menjalankannya akan mendapatkan pahala, sedangkan apabila mengkhianatinya akan mendapatkan hukuman. Akan tetapi semuanya enggan untuk menerimanya.
Keengganan ketiga makhluk-Nya tersebut untuk menerima tawaran tersebut bukanlah didasarkan atas sikap takabur sebagaimana keengganan Iblis ketika diperintahkan-Nya untuk bersujud kepada Adam atau menampik pahala-Nya, akan tetapi karena sikap merasa diri mereka rendah dan lemah, sehingga karenanya khawatir akan menghianatinya.
Penerimaan manusia terhadap amanah tersebut bukanlah karena dia tidak memiliki sifat lemah (lih. QS An-Nisa [4]: 28), justru dengan sifat lemah, banyak mendzalimi dirinya sendiri dan bodoh terhadap akibat yang akan mereka tanggung itulah dia menerimanya.
Penerimaan manusia terhadap amanah ini memiliki konsekuensi, yaitu apabila menjalankannya akan diberikan pahala; apabila menghianatinya akan diberikan siksa.
Amanah yang diterima manusia ini harus dijalankannya dengan ikhlas dan mengikuti petunjuk Sang Pemberinya dengan bercontoh kepada utusan-Nya Rasulullah saw.
Karena sifat manusia lemah, banyak mendzalimi dirinya sendiri dan bodoh terhadap akibat yang akan mereka tanggung itulah sehingga manusia secara umum terbagi kedalah tiga kelompok: munafiq, musyrik dan mukmin.
C. Amanah Manusia kepada sesamanya
Pada surat Al-Nisa [4] ayat 58 Allah swt menjelaskan mengenai amanah yang berhubungan dengan muamalah yaitu interaksi antar sesama manusia.
Amanah tersebut berupa kepercayaan seseorang terhadap orang lain sehingga muncul ketenangan hati tanpa kekhawatiran sama sekali.
Walapun amanah tersebut ada kaitannya dengan sesama manusia, tetapi tetap tidak keluar dari campur tangan Allah swt dalam hal ketentuan-ketentuan umumnya.
Allah swt memerintahkan orang yang dipercayai amanah oleh sesamanya tersebut agar menunaikan, menjaga dan memeliharanya, jangan mengkhianatinya.
سبب نزول سورة النساء: 58
Dari Ibnu Abbas ra berkata: Bahwa setelah Futuh Makkah (pembebasan Mekah) Rasulullah saw memanggil ‘Utsman bin Thalhah untuk meminta kunci Ka’bah. Ketika Utsman datang menghadapnya untuk menyerahkan kunci tersebut, berdirilah Abbas dan berkata: “Ya Rasulallah demi Allah serahkan kunci itu kepadaku untuk saya rangkap jabatan tersebut dengan jabatan siqayah (urusan pengairan)”. Utsmanpun menarik kembali tangannya. Maka Rasulullah saw bersabda: “Berikan kunci itu kepadaku wahai Ustman”. Utsman berkata: “Inilah dia, amanat dari Allah”. Maka berdirilah Rasulullah membuka Ka’bah dan terus keluar untuk thawaf di Baitullah. Turunlah Jibril membawa perintah supaya kunci itu diserahkan kepada Utsman. Rasulullah melaksanakan perintah itu sambil membaca ayat 58 dari surat an-Nisa ini.
Walaupun sebab diturunkannya surat Al-Nisa [4] ayat 58 ini ada kaitannya dengan kejadian tersebut, kita harus memahaminya dengan mengambil keumuman lafadznya, bukan kekhususan sebabnya. Maka siapapun kita apabila diberikan amanah yang berupa titipan yang harus disampaikan kepada pihak ketiga, maka kita harus menyampaikannya secara utuh, sempurna dan tanpa menunda-nundanya kepada yang berhak menerimanya.
Diantara yang termasuk amanah ini adalah menjaga, memelihara dan mengembalikan titipan-tipan; tidak menipu saling menipu dalam urusan-urusan mu’amalah seperti jual-beli dan pekerjaan; perjuangan (jihad) dan nasihat; tidak membuka rahasiah-rahasia dan aib-aib orang lain dan lain sebagainya.
Kita dilarang berkhianat, sekalipun itu kepada orang yang menghianati kita. Rasulullah saw bersabda: “Tunaikanlah amanah kepada orang yang engkau dipercaya (untuk menunaikan amanah kepadanya), dan jangan mengkhianati orang orang yang telah mengkhianatimu” (HR. Ahmad).
D. Balasan bagi orang yang memelihara amanah
Pada surat Al-Mu’minun [23] ayat 8 Allah swt menyebutkan mengenai orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) sebagaimana dipaparkan pada poin-poin diatas, dan juga menepati janjinya.
Penyebutan tersebut adalah satu dari tujuh sifat orang mukmin yang disebutkan oleh Allah swt di permulaan surat al-Mikminun tersebut.
Dengan ketujuh sifat itu menjadikan orang mukmin mendapatkan keberuntungan dan kemenangan, yaitu hidup kekal di surga firdaus.
الاستنباط
Secara garis besar amanah itu ada dua macam: amanah berupa kewajiban-kewajiban dan tugas-tugas yang diembankan Allah kepada manusia melalui syari’at-Nya dan dan berupa kepercayaan yang diberikan manusia terhadap sesamanya.
Hukum menunaikan, menjalankan, memelihara dan menyampaikan amanah apapun adalah wajib bagi setiap mukallaf, maka dilarang mengkhianatinya.
Pengemukaan amanat Allah swt kepada langit, bumi dan gunung-gunung bisa bermakna hakiki atau majazi atau sebuah perumpamaan, sehingga ada yang berpendapat bahwa maksudnya adalah mengemukakan amanat kepada ahli atau penghuni langit, bumi dan gunung-gunung, yaitu para malaikat, jin dan manusia, maka mereka semua menolak menanggung akibatnya. Hal ini seperti dalam ayat: “Dan tanyalah negeri” (QS. Yusuf [12]: 82), maksudnya adalah ahli atau penduduknya. Dalam ilmu balaghah ini adalah majaz isti’arah. Ada juga yang berpendapat dengan melihatnya dari segi membandingkan beratnya memikul amanah, dengan kekuatan yang dimiliki langit, bumi dan gunung-gunung, dan kita melihat bahwa ternyata mereka semua tidak mampu memikulnya, dan apabila mereka berbicara maka akan menolaknya.
Manusia telah menempuh bahaya dan kesusahan dengan menerima amanah ini, karena sifatnya yang lemah, dzalim terhadap diri dan bodoh terhadap akibat.
Allah swt berjanji akan mengazab oran-orangg yang tidak menjalankan amanah dan akan memberikan pahala kepada orang-orang yang menjalankannya dengan surga firdaus.
المصادر
القرآن الكريم وترجمته
التفسير المنير في العقيدة والشريعة والمنهج للدكتور وهبة بن مصطفى الزحيلي
تفسير القرآن العظيم لإسماعيل بن عمر بن كثير
معالم التنزيل لأبو محمد الحسين بن مسعود البغوي
تيسير الكريم الرحمن في تفسير كلام المنان لعبد الرحمن بن نصر السعدي
إعراب القرآن الكريم لدعاس
No comments:
Post a Comment