Sunday, 25 March 2012

Memupuk Diri dengan Karakteristik Ulul Albab

(https://m.inilah.com) 


Oleh: Nabil Abdurahman

Sesungguhnya Allah swt menciptakan kita berbeda dengan binatang, berbeda dengan tumbuhan  dan mahluk lainnya, kita disempurnakan dengan diberi tubuh yang lebih lengkap dan dianugrahi akal yang menjadi penyempurna kita dari mahluk-mahluk lainnya. Oleh karena itu kemampuan seseorang dalam memfungsikan akalnya, ini akan membuat nilai kemanusiaannya semakin tinggi dan nilai kemanfaatannya juga semakin lengkap, di samping dengan akal ini pula seseorang akan semakin merasakan ketakjubannya, kedekatannya, kecintaannya kepada sang penciptannya, Allah swt.
Ketika manusia sudah mulai berfikir tentang bagaimana cara memfungsikan akal ini dengan baik, maka muncullah teori-teori tentang kesempurnan manusia, salah satunya pembahasan tentang otak manusia baik secara organ maupun non organ. Diantara teori tersebut adalah teori tentang IQ (Intelegence Quotient) yang di perkenalkan oleh William Stern, kemudian pendapat ini dibantah oleh Daniel Goleman yang menyatakan bahwa IQ hanya menyumbangkan 5-10% saja dari kecerdasan manusia lalu diperkenalkanlah konsep baru EI (Emosional Intelegences), namun setelahnya muncul Howard Gardner dengan Teori MI (Multiple Intelegence) yang menggabungkan antara IQ, EQ dan SQ.
Kalau kita kembali kepada al-Qur’an yang merupakan sumber pedoman hidup kita selaku seorang muslim, maka Allah di dalam beberapa ayat-Nya selalu mengingatkan kita akan fungsi di ciptakannya akal pada diri manusia: apala tatafakkarun, afala tatadabbarun, afala yandurun…Wahai manusia tidaklah kamu pergunakan akalmu untuk berfikir, memperhatikan, mengamati, dan memahami sesuatu, maka di dalam al-qur’an itu juga digambarkanlah satu golongan orang yang mampu memfungsikan potensi kecerdasannya untuk menjadi manusia yang sempurna di hadapan makluknya dan penciptanya, yaitu yang di sebut dengan “ulul albab”.
Islam merupakan agama yang begitu perhatian dan memberikan penghargan terhadap orang yang mau mepergunakan akalnya. Adanya akal menjadi salah satu patokan dalam beragama bagi seseorang, seperti syarat orang beribadah adalah mempunyai akal. Agama dan akal senantiasa harus beriringan, karena agama tanpa akal menjadi pincang/cacat, sedangkan akal tanpa agama menjadi buta. Namun, tidak semua orang yang menggunakan akalnya dapat menemukan kebenaran, dapat memanfaatkan kepandaiannya untuk kemaslahatan, baik di dunia apalagi di akhirat. Bahkan akalnya berubah menjadi senjata yang menghancurkan dan menyesatkan banyak orang. Tanpa bimbingan agama yang kuat, akal dan kepandaian yang kita miliki terkadang dapat membahayakan, merusak dan menciderai banyak pihak. Oleh karena itu hanya yang di istilahkan dalam al-qur’an dengan “ulul albab” saja yang bisa memanfaatkan akalnya di jalan yang benar karena mereka selalu menerima bimbingan agama yaitu pelajaran-pelajaran dari sang pencipta akal. Di dalam beberapa ayat al-qur’an Allah berfirman:وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ, إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ, وَلِيَذَّكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ "Sesungguhnya orang berakallah yang dapat menerima pelajaran" (QS. Az-Zumar:9).
Secara bahasa, ulu berarti orang-orang yang memiliki (dalam bentuk jama’) dan albab merupakan bentuk jama’ dari lubb yang berarti intisari, bagian terbaik atau terpenting dari sesuatu, yang berarti juga akal dan hati yang jernih, oleh karena itu lubb lebih umum daripada akal, maka setiap lubb bisa di sebut akal; tetapi tidak setiap akal bisa di sebut lubb. Perumpamaan lubb dan akal itu ibarat cahaya matahari dan cahaya lampu, Lubb adalah tempat cahaya tauhid dan cahaya personalitas yang merupakan paling sempurnanya cahaya dan kekuatan yang besar. Lubb disebut juga Nur Mabsuth (cahaya luas), Aql Muwaffaq (akal yang mendapat pertolongan dan keridhaan Allah), Aql al-Hidayah (akal yang mendapat petunjuk Allah). Oleh karena itu lubb hanya dimiliki oleh orang-orang yang beriman.
Di dalam al-qur’an kalimat “Ulul albab” disebutkan sebanyak 16 kali, yaitu: dalam surat al-Baqarah sebanyak 3 kali pada ayat 179, 197 dan 269, dalam surat al-‘imran sebanyak 2 kali, pada ayat 7 dan 190, kemudian dalam surat al-maidah ayat 100, surat yusuf ayat 111, surat ar-ra’du ayat 22, surat Ibrahim ayat 52, dalam surat shad ayat 29 dan 43, dalam surat az-Zumar ayat 9, 18, 21, dalam surat al-mu’min ayat 54, dan dalam surat at-thalaq ayat 10.
Jika diteliti secara seksama, dengan menelusuri isi ayat-ayat yang berkaitan dengan ulil albab tersebut, kita dapat memilah karakteristik ulul albab tersebut ke dalam tiga kriteria;

A.    ENAM CIRI UMUM ULUL ALBAB

1. Bersungguh sungguh dalam mencari dan memperdalam ilmu, atau ar-rashihuna fil ilmi
وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
Artinya: "Dan orang yang bersungguh-sungguh dalam ilmu pengetahuan mengembangkannya dengan seluruh tenganya, sambil berkata: 'Kami percaya, ini semuanya berasal dari hadirat Tuhan kami,' dan tidak mendapat peringatan seperti itu kecuali ulul-albab." (QS.3:7)
Dalam sebuah hadist dikatakan bahwa menuntut ilmu itu wajib bagi setiap Muslim. Ilmu membuat seseorang jadi mulia, baik di hadapan manusia juga di hadapan Allah.
Oleh karena itu, banyak sekali keutamaan-keutamaan bagi orang yang menuntut ilmu, sebagaimana yang di sebutkan dalam al-qur’an dan hadits Rasulullah saw, diantaranya:
Allah berfirman:” ….Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan, Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Al Mujaadilah [58] : 11). Dan berfirman: “Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. Az-Zumar [39]: 9).
Dalam Kitab Ihya Uluumuddiin Imam Al Ghazali menyebutkan bahwa Nabi berkata: “Di akhirat nanti tinta ulama ditimbang dengan darah para syuhada. Ternyata yang lebih berat adalah tinta ulama!“ Nabi juga berkata bahwa meninggalnya 1 kabilah (penduduk 1 kampung) lebih ringan daripada meninggalnya seorang ulama. Itulah kemulian orang yang berilmu!
Di samping itu, orang yang menuntut ilmu akan mendapatkan balasan baik di dunia maupun di akhirat. Dalam sebuah hadist di katakan: “Barangsiapa berjalan di satu jalan dalam rangka menuntut ilmu, maka Allah mudahkan jalan menuju surga. Dan sesungguhnya malaikat meletakkan sayap-sayapnya bagi penunutu ilmu tanda ridha dengan yang dia perbuat. (Dari hadits yang panjang riwayat Muslim)
“Barangsiapa keluar dalam rangka thalabul ilmu (mencari ilmu), maka dia berada dalam sabilillah hingga kembali.” (HR. Tirmidzi, hasan)
 Dalam hadits lainnya dijelaskan bahwa ilmu yang wajib dituntut adalah ilmu yang bermanfaat. Yang bukan hanya benar, tapi juga dapat mendekatkan diri kita kepada Allah SWT dan dapat memberi kebahagiaan bagi kita, keluarga, dan masyarakat baik di dunia mau pun di akhirat.
Rasulullah saw bersabda: “Apabila anak cucu adam itu wafat, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak sholih yang mendoakan orangtuanya.” (HR.Muslim, dari Abu Hurairah ra)
Karena banyaknya keutamaan-keutamaan bagi orang yang menuntut ilmu itulah, maka ulul albab, tidak menyia-nyiakan potensi dirinya untuk selalu terus-menerus bersungguh-sungguh dalam mencari dan memperdalam ilmu.

2. Gemar bertafakur
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ
Artinya: "Sesungguhnya dalam proses penciptaan langit dan bumi, dalam pergiliran siang dan malam, adalah tanda-tanda bagi ulul-albab."(QS.3:190).
Sebagaimana kita ketahui bahwa Allah tidak dapat dilihat dengan perangkat kasar, mata kasar. Maka Allah hanya dapat dilihat dengan perangkat halus, mata batin. Namun alam ciptaan-Nya, dapat dilihat dengan mata kasar, bahkan bisa di nikmati oleh kita. Dan semuanya itu menunjukan kebesaran Penciptanya. Oleh karena itu didalam Al Quran Allah selalu membimbing manusia untuk dapat melihat kebesaran-Nya, bukan sekadar yang kwalitatif, melainkan juga sampai-sampai kepada yang kwantitatif,
Seperti dalam ayat diatas menyiratkan kepada kita, bahwa poin penting untuk modal bertafakur adalah bahwa setiap saat kita dituntut untuk berinteraksi dengan alam sekitar (ayat qauniah), dan memikirkan bagaimana ia di ciptakan. Dalam ayat lain Allah berfirman: Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan, Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?” (al-Ghaasyiyah: 17-20).
Melalui ayat ini ternyata Allah SWT mengajak umat manusia untuk berfikir secara mendalam tentang fenomena alam yang ada di sekeliling kita. Dengan harapan manusia dapat mengambil pelajaran dari fenomena-fenomena alam sekitar tersebut. Sehingga dengan sendirinya akal akan mengarahkan pada satu kesimpulan bahwa segala fenomena-fenomena disekitar kita itu ada yang mengaturnya sekaligus memprediksikanya. Rasulullah bersabda: “Tafakkaruu fi khalqillah, wala tafakkaru fi zdaatillah”
Allah mulai mencipta ayat Qauniyah ini (materi, ruang dan waktu), tatkala bersabda Kun, maka dari tidak ada menjadilah ada: materi, ruang dan waktu. Dengan adanya alam semesta ini, sudah semestinya kita sebagai salah satu bagian darinya akan selalu ingat akan ke Maha Suci-an Allah dengan penuh keyakinan. Bahwa Allah SWT menciptakan alam semesta beserta isinya bukanlah suatu ke sia-sian.
Untuk kembali memicu andrenalin kita untuk selalu bertafakur, mari kita renungkan firman Allah SWT: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?” (QS. Fushshilat:53)
Dari ayat diatas menjadi keyakinan, bahwa tanda-tanda (kekuasaan) dalam konteks ilmu sains (ayat-ayat Qauniyah) tidak ada pertentangan dengan pesatnya ilmu pengetahuan saat ini. Bahwa ketika kita memandang maupun merasakan gejala alam, maka tidak ada satupun ayat-ayat Al-Qur’an yang kontras dengan fenomena-fenomena alam semesta.
Seorang ilmuwan modern, Albert Einstein -disela-sela observasinya- mengatakan: "Tiada ketenangan dan keindahan yang dapat dirasakan hati melebihi saat-saat ketika memperhatikan keindahan rahasia alam raya. Sekalipun rahasia itu tidak terungkap, tetapi dibalik itu ada rahasia yang lebih indah lagi, melebihi segalanya, dan jauh diatas bayang-bayang akal kita. Menemukan rahasia dan merasakan keindahan ini, tidak lain adalah esensi dari bentuk penghambaan".

3. Bisa membedakan mana yang Haq dan Batil, walaupun ia harus sendirian mempertahankan kebaikan itu dan walaupun kejelekan itu dipertahankan oleh banyak orang.
قُلْ لَا يَسْتَوِي الْخَبِيثُ وَالطَّيِّبُ وَلَوْ أَعْجَبَكَ كَثْرَةُ الْخَبِيثِ
Artinya: "Katakanlah, tidak sama kejelekan dan kebaikan, walaupun banyaknya kejelekan itu mencengangkan engkau. Maka takutlah kepada Allah, hai ulul-albab." (QS.5:100)
Dengan kata lain ulul albab selalu menjadikan al-Qur’an sebagai sumber segala penerang dan hukum dalam menyikapi setiap hal-hal yang ada di sekelilingnya. Karena mereka berkeyakinan bahwa al-qur’an yang hanya bisa di jadikan sumber untuk membedakan mana yang hak dan batil.
Dalam hal ini Allah swt berfirman: 
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ
Artinya: “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil).(QS.al- Baqarah:185)
Artinya al-Qur'an membedakan antara yang haq dengan yang batil, antara yang lurus dengan yang sesat, yang bermanfaaat dan yang berbahaya, yang halal dengan yang haram. Al-qur’an juga menyuruh kita semua mengerjakan kebaikan dan melarang kita dari perbuatan buruk dan juga memperlihat kan segala apa yang kita perlukan untuk urusan dunia dan akhirat, maka al-qur’an adalah furqan dalam arti membedakan antara yang hak dengan yang batil.

4. "Kritis, Rasional & Obyektif"
الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ وَأُولَئِكَ هُمْ أُولُو الْأَلْبَابِ
Artinya: "Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk dan mereka itulah ulul-albab." (QS.Az-zumaar:18)
Kenapa kita harus kritis? Dengan telaah kritis kita terbantu untuk melakukan analisa sistematis terhadap validitas, reliabilitas hasil, dan manfaat dari apa yang kita baca dan dengar, dalam bahasa metaforanya, kita bisa memisahkan sekam dari beras pada padi yang baru dipanen. Dengan melakukan telaah kritis terhadap informasi ilmiah yang kita peroleh, maka kita dapat memilih literatur yang tepat, informasi yang sesuai dan mendukung serta bermanfaat bagi pengembangan profesi atau setudy kita terutama bila kita mendapatkan literatur yang hasilnya berlawanan.
Selain itu telaah kritis juga membantu kita mengubah prilaku belajar, bekerja dan cara berpikir kita. Dari pola berpikir yang kurang pertimbangan alias ceroboh menjadi lebih hati-hati, terukur dan terarah. Dari pola berpikir yang sempit menjadi luas, terbuka dan universal. Dari yang kurang jelas, kabur menjadi jelas, terarah dan tepat. Dan yang paling penting adalah membantu kita untuk berpikir secara padat berisi.
Karena telaah kritis merupakan metode penilaian secara obyektif akan manfaat dari informasi yang ada dengan melakukan seleksi informasi secara rasional dan proporsional. Hal ini membantu kita untuk belajar, menalar dan memahami suatu ilmu baru tanpa melupakan ilmu yang lama.
Untuk dapat melakukan telaah kritis ini, kita dituntun agar memiliki kemampuan berpikir logis. Tidak harus logika matematika, yang penting kita tahu mana yang logis mana yang tidak logis. Mana yang bisa diterima akal alias rasional dan mana yang tidak.
Dan untuk dapat berpikir logis, kita harus perhatian terhadap setiap informasi yang kita butuhkan dengan sedetail-detailnya. Selain itu kita harus bisa menentukan ide dan obyek ide atau pokok permasalahannya. Disamping itu juga kita harus punya data, dan punya masalah yang sehubungan dengan data tersebut. Begitu juga untuk berfikir logis kita membutuhkan kemampuan kita untuk memasangkan ide dengan fakta, kata dengan ide.

5. "Penyeru & Komunikator Kebaikan"
Hal ini sebagaimana terkandung dalam al-Qur’an surat Ibrahim: 52 dan ar-Ra’du: 19-22.
"(Al-Quran) ini adalah penjelasan yang cukup bagi manusia, dan supaya mereka diberi peringatan dengan dia, dan supaya mereka mengetahui bahwasannya Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa dan agar ulul-albab mengambil pelajaran."(QS.14:52)
- maksudnya: orang-orang yang selalu mengajak orang lain untuk sama-sama berbuat ma’rup/kebaikan dan mencegah kemunkaran/keburukan dengan bersandar kepada al-qur’an yang merupakan sumber penjelas dan penerang bagi kehidupan manusia.
"Orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian, karena melanggar janji merupakan salah satu cirri orang munafiq".
"Orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk".
"Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rezki yang Allah berikan kepada mereka,secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan". (QS. Ar-ra’du:19-22)

6. Tidak takut kepada siapa pun kecuali kepada Allah atau dengan kata lain orang yang bertakwa
وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ
Artinya:"Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baiknya bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai ulul-albab." (QS 2:197)
Di dalam ayat lain Allah swt berfirman: "…maka bertakwalah kepada  Allah hai ulul-albab, agar kamu mendapat keberuntungan." (QS 5:179)
"Allah menyediakan bagi mereka azab yang keras, maka bertakwalah kepada Allah hai ulul-albab." (QS. 65:10)
Taqwa lahir sebagai konsekuensi logis dari keimanan yang kokoh. Keimanan yang selalu dipupuk dengan mendekatkan diri kepada Allah (muqorobatullah), merasa takut terhadap murka dan adzab-Nya, dan selalu berharap atas limpahan karunia dan maghfirah-Nya.
Sebagian Ulama  mendefinisikan taqwa sebagai sikap pencegahan diri dari adzab Allah dengan melakukan amal shaleh dan takut kepada-Nya baik di kala sepi maupun ramai. Sikap ini akan membuat seseorang selalu merasa diawasi dan disertai Allah (ma'iyatullah).
Hamka mengatakan dalam taqwa terkandung cinta, kasih, harap, cemas,tawakal, ridha, sabar dsb. Rasulullah pernah bertanya kepada Abu Hurairah:"Pernahkah engkau bertemu jalan yang berduri? Bagaimana tindakanmupada waktu itu?". Sahabat tersebut menjawab: "Apabila aku melihat duri,aku menghindar ke tempat yang tidak berduri atau aku langkahi, atau
aku mundur". Rasulullahpun bersabda :"Itulah taqwa".
Rasulullah pernah ditanya: "Wahai Rasulullah, siapakah orang yang cerdas?" "Orang yang berfikir (menggunakanakalnya)"Jawab Nabi "Lalu siapakah yangbaik ibadahnya?" tanya mereka. "Orang yang berfikir(menggunakan akalnya)"Jawab Nabi. "Lalu siapakah yang paling utama ?" tanya mereka selanjutnya."Orang yang selalu berfikir (menggunakan akalnya)" Jawab Nabi kembali.Mereka berkata : "Wahai Rasulullah, bukankah orang yang berfikir itusempurna akhlaknya, baik tutur katanya, pemurah tangannya dan tinggikedudukannya?" Nabi saw menjawab :"Semua itu faktor penyebab kepuasan didunia, sedangkan di akhirat yang di sisi Tuhan itu hanya bagi orang yangbertaqwa, orang berfikir (menggunakan akalnya)itulah orang yang bertaqwa,sekalipun kelihatannya rendah hidupnya di dunia."


B. TANDA KHUSUS ULUL ALBAB

1. Tekun Beribadah Malam
أَمَّنْ هُوَ قَانِتٌ آنَاءَ اللَّيْلِ سَاجِدًا وَقَائِمًا يَحْذَرُ الْآخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّهِ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ
Artinya: "Apakah orang yang bangun di tengah malam, lalu bersujud dan berdiri karena takut menghadapi hari akhirat, dan mengharapkan rahmat Tuhannya: samakah orang yang berilmu seperti itu dengan orang-orang yang tidak berilmu dan tidak memperoleh perinagtan seperti itu kecuali ulul-albab." (QS. 39:9)
Shalat malam memiliki beberapa keutamaan yang besar,  diantaranya adalah :
1. Nabi SAW sangat memperhatikan shalat malam hingga dalam riwayat beliau sampai pecah-pecah kedua telapak kaki.
Diriwanyaatkan dari Aisyah RA: "Sungguh Nabi SAW shalat malam hingga merekah kedua telapak kakinya. Aisyah berkata kepada beliau: "Mengapa engkau melakukan hal ini, wahai Rosulullah, padahal Allah SWT telah mengampuni dosa-dosamu yang telah lalu dan yang akan datang?", Beliau menjawab, “Apa aku tidak ingin menjadi hamba yang bersyukur?" (HR Bukhori dan Muslim)
2. Shalat malam merupakan sebab utama bagi sesorang untuk bisa masuk syurga.
Abdullah bin salam RA pernah bercerita : "Pada waktu Rasulullah SAW tiba di Madinah, orang-2 menyambut dengan perkataan :"Rosulullah SAW tiba! Rasulullah SAW tiba!, begitulah suara teriakan terdengan. Sayapun datang bersama banyak orang, karena ingin melihat beliau. Setelah bisa melihat beliau secara jelas, saya pun tahu bahwa wajah Beliau bukanlah wajah pendusta. Dan sabda beliau yang pertama kali saya dengan adalah: “Wahai manusia, sebarkan salam, berilah makan, sambunglah kekerabatan dan shalatlah di saat manusia terlelap tidur pada saat malam niscaya engkau masuk syurga, kampung keselamatan (HR Ibnu Majah)
3. Shalat malam merupakan salah satu cara untuk menaikkan derajat dalam kamar-2 syurga
Diriwayatkan dari Abu Malik Al Asy’ari RA bahwasanya Rosulullah SAW pernah bersabda: “Sungguh dalam surga terdapat kamar-kamar yang bagian dalamnya terlihat dari luar dan bagian luarnya terlihat dari dalam. Kamar-kamar itu Allah sediakan untuk orang yang memberi makan, melembutkan perkataan, mengiringi puasa Ramadhan, menebar salam dan asyik shalat malam di saat manusia terlelap tidur”. (HR. Ahmad, Ibnu hibban dan At-tirmidzi)
4. Orang-orang yang membiasakan shalat malam adalah orang-orang yang berbuat ihsan dalam ibadah sehingga layak untuk mendapatkan rahmat dan syurga.
“Di waktu malam, sedikit sekali mereka tidur. Dan pada waktu sahur mereka beristighfar” (QS. Adz-Dzariat : 17-18)
5. Shalat malam merupakan penutup kesalahan dan penghapus dosa
Rasulullah SAW bersabda :”Hendaklah kalian melaksanakan shalat malam karena shalat malam itu merupakan kebiasaan orang-orang shaleh sebelum kalian, ibadah yang mendekatkan diri kepada Tuhan kalian, serta penutup kesalahan dan penghapus dosa”. (HR. At-Tirmidzi)
6. Shalat malam merupakan shalat paling utama setelah shalat fardhu
Rasulullah SAW bersabda :”Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan adalah puasa di bulan Muharam, bulannya Allah. Sedangkan shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam”. (HR. Muslim)
7. Kemuliaan orang beriman ada dengan shalat malam
Berdasarkan hadist yang diriwayatkan dari Sahl bin Sa’ad RA katanya :”Pernah jibril datang menemui Nabi SAW lalu berkata :”Hai Muhammad, hiduplah sesukamu karena kau pasti akan mati. Cintailah siapa saja orang yang kau suka karena sungguh kau akan berpisah dengannya. Berbuatlah sesukamu karena sesungguhnya kau akan dibalas dengan perbuatanmu itu. ‘Kemudian jibril berkata,”Hai Muhammad, kemujliaan orang beriman ada dengan shalat malam. Dan kegagalan orang beriman adalah sikap mandiri dari bantuan orang lain.” (HR. AL Hakim)

2. Selalu ingat/dzikir kepada Allah
رَبَّنَا إِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِيًا يُنَادِي لِلْإِيمَانِ أَنْ آمِنُوا بِرَبِّكُمْ فَآمَنَّا رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ الْأَبْرَار
Artinya: "Dia (Ulil Albab) zikir kepada Allah dalam keadaan berdiri, dalam keadaan duduk, dan keadaan berbaring." (QS 3:191)
Dalam minhaj al ‘abidin, Imam al ghazali berkata: "Kaifa ta’budu maa la ta’rifuhu" )Bagaimana engkau menyembah (menghadapkan hatimu ) kepada sesuatu yang engkau belum mengenalnya?(Dzikir itu bukan menyebut atau melafadzkan kalimah dzikir di lisan saja, seperti lafadz subhanallah, alhamdulillah, Allahu akbar, tanpa kehadiran hati atau ruhani kita dihadapan Allah”.
Penyebutan atau pelafadzan kalimah dzikir itu sesungguhnya adalah untuk membantu hati dan ruhani kita agar selalu hadir dihadapan Dzatullah, yaitu Dzat yang didzikirkan atau diingat. Jadi pengucapan kalimah dzikir itu, bukan dzikir itu sendiri, seseorang yang melafaladzkan atau mengucapkan kalimah dzikir tanpa disertai kehadiran hati / ruhani dihadapan dzatullah, maka sesungguhnya orang tersebut masih belum berdzikir atau dengan kata lain sedang belajar berdzikir menuju dzikir yang sebenarnya.
Meskipun demikian, melafadzkan atau mengucapkan kalimah dzikir saja tanpa disertai rasa hadir dihadapan dzatullah itu masih lebih baik daripada tidak mengucapkan kalimah dzikir samasekali. Karena dengan istiqomah dan kesadaran akan kelemahan dzikirnya, disertai rasa hina dan memohon rahmatNya, Insyaallah, Allah akan mengangkatnya dari kondisi dzikir tanpa disertai kesadaran dan rasa hadir dihadapan Dzatullah, menjadi dzikir dengan kesadaran dan muhadlarah dihadapan Allah.
Allah swt berfirman: فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ “Maka ingatlah kepada-Ku, pasti Aku akan ingat kepadamu.” (QS al-Baqarah:152). وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ “Dan ingatlah kepada RABB-mu di dalam hatimu dengan merendahkan diri dan merasa takut, dengan tidak meninggikan suaramu.” (QS al-A’raf:205). أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُHanya dengan mengingat Allah, hati menjadi tentram”. (QS al-Ra’du: 28).


C. KEISTIMEWAAN ULUL ALBAB

1. Kaya Hikmah dan Kearifan
يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
Artinya: "Allah memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barang siapa yang diberi hikmah, sungguh telah diberi kebajikan yang banyak. Dan tak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali ulul-albab." (QS. 2:269)
Setiap kita bisa mempelajari sumber ilmu Hikmah, yaitu dengan mengkaji al-Qur’an dan as-sunnah. Hanya saja daya serap otak kita, tingkat pemahaman kita, serta kemampuan kita untuk mengamalkan isi kandungannya, akan berbeda satu sama lainnya. Kitab al-Qur’an dan al-Hadits yang kita pelajari, boleh sama. Tapi daya tangkap kita, dan akurasi pemahaman makna terhadap teks yang tertulis akan berbeda satu sama lain. Begitu juga kemampuan dalam mempraktikkan ilmu yang telah diketahui. Tidak semua orang yang membaca al-Qur’an dan al-Hadits, serta ­merta memahami maknanya.
Dari sekian orang yang paham maknanya, ternyata tidak semua mampu mempraktikkannya dalam perkataan dan perbuatannya. Kemampuan memahami secara mendalam terhadap al-­Qur’an dan as-Sunnah itulah anugerah yang besar dari Allah yang tidak bisa dimiliki oleh setiap orang, begitu juga kemudahan dalam mengamalkannya. Apabila kita dianugerahi oleh Allah kemudahan dalam memahami agama ini dari sumbernya, dan kemampuan untuk mempraktikkannya dalam kehidupan, serta mengajarkannya kepada yang lain, berarti kita termasuk hamba yang diberi ilmu Hikmah. Dan itulah anugerah Allah termahal dan terindah, sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Baqarah ayat 269. Sehingga dengan ilmu itu perkataan dan perbuatan kita benar, sesuai dengan syari’at Islam.
Simaklah perkataan Imam Nawawi rahimahullah saat dia menjelaskan tentang ilmu Hikmah yang sebenarnya. Imam an-Nawawi berkata, “Ilmu al-Hikmah adalah ilmu yang berkaitan dengan hukum-hukum agama yang lengkap untuk mengenal Allah yang diiringi dengan tajamnya pikiran dan lembutnya jiwa serta mulianya akhlak. Merealisasikan kebenaran dan mengamalkannya, berpaling dari hawa nafsu dan kebathilan.”
Sedangkan al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah menyimpulkan bahwa makna al-Hikmah yang tepat adalah pemahaman yang mendalam terhadap kandungan kitab al-Qur’an. Iman dan hikmah biasanya berdampingan, walaupun kadang terdapat juga hikmah yang tidak bersandingan dengan iman.”
Itulah wujud dari kemuliaan sejati, karena kita bisa menjadi hamba yang taat, dengan kemampuan kita untuk mengetahui perintah-perintah-Nya lalu mentaatinya. Dan mengetahui larangan-larangan-Nya lalu menjauhinya. Itulah sifat hamba yang bertakwa dan berhak menjadi orang yang paling mulia. “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.” Begitulah Allah menjelaskan standar kemuliaan sejati dalam surat al-Hujurat ayat 13.
Shahabat Ibnu Abbas berkata, “Yang dimaksud dengan al-Hikmah dalam ayat tersebut adalah pengetahuan tentang al-Qur’an, seperti mengetahui naskh dan mansukhnya (ralat dan yang diralat), ayat muhkam dan mutasyabihnya (yang jelas dan yang samar), yang pertama dan yang terakhir, yang dihalalalkan dan yang diharamkan, dan yang semisalnya.” Sedangkan Imam Qatadah, Abul `Aliyah, Imam Ntujahid, memaknai dengan a1-Qur’an dan kepahaman mendalam akan apa yang dikandungnya.”
Imam Ibnu Jarir at-Thabari menafsirkan al-Hikmah dalam ayat tersebut dengan, “Kebenaran dalam perkataan dan perbuatan yang diberikan Allah kepada hamba-Nya yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa yang diberi kebenaran dalam perkataan dan perbuatan, berarti ia telah mendapatkan kebaikan yang sangat banyak.”
Imam al-Qurthubi berkata, “Asal makna Hikmah adalah apa saja yang dapat menghalangi datangnya kebodohan. Maka dari itu ilmu juga disebut hikmah, karena ia dapat menghalau kebodohan dan segala perbuatan buruk. Begitu juga al-Qur’an, akal dan pemahaman. Dalam riwayat Imam Bukhari dikatakan, “Barangsiapa yang dikehendaki baik oleh Allah, maka Allah akan memahamkannya dalam masalah agama.” Imam Bukhari berkata, “Barangsiapa yang diberi hikmah, maka ia telah dianugerahi kebaikan yang banyak. Dan sering terulangnya kata al-Hikmah dalam al-Qur’an, tanpa menggunakan kata penggantinya, sebagai pertanda akan kemuliaan dan keutamaannya.”

2. Banyak mengambil Hikmah dari sejarah Umat Manusia
لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِأُولِي الْأَلْبَابِ
Artinya: "Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal" (QS. 12:111)
Sesungguhnya sebagian besar dari ayat-ayat suci Al-qur'an berisi tentang kisah-kisah dan sejarah yang bisa dijadikan 'ibroh (pelajaran), hikmah dan nasihat yang baik, seperti pada sisi lain memberikan hukum-hukum syar'iyah dan membuat undang-undang yang menghapus undang-undang yang berlaku pada zaman jahiliah (bangsa Arab) dan juga umat-umat terdahulu yang telah berpaling dari jalan Allah dan mengingkari risalah-risalah-Nya dan rosul-rosul-Nya, sehingga membawa diri dan bangsa mereka kepada kehancuran dan siksaan dari-Nya di dunia, dan diakhirat yang lebih menyakitkan dan kekal selamanya.
  Dan kita tahu, bahwa sejarah merupakan Madrasah yang mempunyai sistem dan pelajaran yang ilmiah dan mendidik, yang diriwayatkan bukan untuk dijadikan penghibur hati atau diucapkan dan diceritakan pada orang lain, akan tetapi untuk dijadikan 'ibroh dan hikmah serta dasar perubahan kearah yang lebih baik dan afdhol.
Kalau bukan untuk itu, maka apa harga dari sebuah kejadian, gerakan, dan penghasilan ?
Sejarah bukanlah sebuah musium atau tempat peninggalan, tetapi merupakan saksi hdup bagi orang yang mau memahami dan mendalami serta tertarik kepadanya, sehingga menjadikannya orang yang siap untuk merenda hari esoknya dalam setiap detik dari umurnya dan setiap jam dari hidupnya.
Apalagi kisah-kisah dalam Al Qur’an adalah sebenar-benarnya kisah. Berdasarkan firman Allah Ta’ala yang artinya: “Dan siapakah yang lebih benar perkataan(nya) daripada Allah?” (Q.S. An Nisaa’: 87). Karena kisah-kisah tersebut pasti sesuai dengan kenyataan yang terjadi. Dan kisah-kisah tersebut merupakan kisah-kisah terbaik. Berdasarkan firman Allah Ta’ala yang artinya: “Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al Quran ini kepadamu,” (Q.S. Yusuf: 3). Karena kisah-kisah tersebut mengandung nilai balaghah dan makna yang sangat tinggi kesempurnaannya. Dan kisah-kisah dalam Al Qur’an merupakan kisah-kisah yang paling besar manfaatnya. Berdasarkan firman Allah Ta’ala yang artinya: “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.” (Q.S. Yusuf: 111). Yang demikian itu karena sangat kuatnya pengaruh yang muncul untuk memperbaiki hati, amal dan akhlak.
Kisah-kisah dalam Al Qur’an terbagi menjadi tiga macam: Pertama: Kisah-kisah para Nabi dan Rasul, dan apa saja yang terjadi antara mereka dengan orang-orang yang beriman dan orang-orang yang kafir.
Kedua: Kisah-kisah sejumlah orang atau kelompok. Terdapat beberapa peristiwa yang mengandung pelajaran dari apa yang mereka alami. Allah Ta’ala menceritakan kisah mereka, seperti kisah Maryam, Luqman, seorang yang melewati sebuah kampung yang telah kosong dari penghuninya, Dzulqarnain, Qaaruun, pemuda Al-Kahfi, tentara gajah, orang-orang yang dilemparkan ke dalam parit api dan kisah-kisah lainnya.
Ketiga: Kisah-kisah yang terjadi pada zaman Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, misalnya kisah perang Badar, Uhud, Ahzab, Bani Quraizhah, Bani Nadhir, kisah Zaid bin Haritsah, Abu Lahab dan lain-lainnya.
Ada hikmah yang sangat banyak dan besar di balik kisah-kisah di dalam Al Qur’an tersebut, di antaranya:
1. Penjelasan tentang kebijaksanaan Allah Ta’ala yang terkandung dalam kisah-kisah tersebut.
2. Penjelasan tentang kemahaadilan Allah yang menjatuhkan hukuman bagi orang-orang yang mendustakan.
3. Penjelasan tentang karunia Allah yang memberi balasan baik bagi orang-orang yang beriman.
4. Hiburan bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atas penderitaan yang beliau alami karena gangguan orang-orang yang mendustakan beliau.
5. Motivasi bagi kaum mukminin agar istiqamah di atas keimanan dan untuk meningkatkannya. Karena mereka mengetahui keselamatan orang-orang mukmin terdahulu dan kemenangan yang diraih oleh orang-orang yang diperintahkan untuk berjihad.
6. Ancaman bagi orang-orang kafir supaya tidak melestarikan kekafirannya.
7. Bukti atas kebenaran risalah yang dibawa Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam, karena hanya Allah sajalah yang mengetahui kisah umat-umat terdahulu tersebut.
Semoga kita bisa memupuk diri dengan karakteristik ulul albab tersebut yaitu dengan senantiasa bersusaha agar cirri-cirinya tersebut bisa kita miliki, meskipun tidak seluruhnya setidaknya sebagiannya. sehingga menjadikan kita manusia yang ulul albab yang akan mendapatkan balasan Jannatu 'adn sebagaimana yang dijanjikan Allah dalam Surat Al-Ra'd ayat 23: (Yaitu) syurga 'Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya, isteri-isterinya dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu".
Wallahu a'lam bi ash-shawab

No comments:

Post a Comment