Secara etimologi koalisi berasal dari bahasa latin co-alescare, artinya tumbuh menjadi alat pengabung. (Ensiklopedi populer politik pembangunan pancasila edisi ke IV (1988:50). Maka koalisi merupakan persekutuan, gabungan atau aliansi beberapa unsur, di mana dalam kerjasamanya, masing-masing memiliki kepentingan sendiri-sendiri. Aliansi seperti ini mungkin bersifat sementara atau berasas manfaat. Dalam pemerintahan dengan sistem parlementer, sebuah pemerintahan koalisi adalah sebuah pemerintahan yang tersusun dari koalisi beberapa partai. (www.wikipedia.com).
Oleh karena itu, dalam praktis partai politik koalisi sangat akrab sekali. Dimana perbedaan idiologi, kultural atau atribut masing-masing partai diikat isu bersama persamaan persepsi terhadap masalah atau kepentingan. Karena dalam dunia politik yang sering berbicara adalah kepentingan; baik itu kepentingan politik murni yaitu untuk mendapatkan jabatan publik strategis dengan membagi-baginya di antara sesama peserta koalisi, maupun kepentingan lain seperti adanya musuh bersama. Bahkan sering kali kambing hitam itu menjadi kebutuhan dasar yang sengaja diciptakan sebagai alasan bersatu.
Dalam hal ini Syamsudin Haris menyatakan bahwa “secara teoritis, masalah koalisi sebenarnya hanya relevan dalam konteks sistem pemerintahan parlementer. Terciptanya koalisi sebenarnya diperuntukan hanya dalam menggalang dukungan dalam membentuk pemerintahan oleh partai pemenang pemilu, serta dibutuhkan untuk membangun dan memperkuat oposisi bagi partai-partai yang mempunyai kursi di parlemen namun tidak ikut memerintah”.
Maka koalisi di bangun dengan tujuan untuk mempengaruhi proses politik; pembuatan undang-undang dan perebutan kekuasaan, atau untuk menggalang kekuatan guna menghadapi kekuatan besar atau untuk menghadapi ketidak pastian politik; dimana resiko kalah dan tersingkir jauh lebih besar ketimbang peluang menang atau dengan kata lain dirancang untuk meraih kekuasaan.
Disamping itu, dalam suatu pemerintahan yang menganut sistem demokrasi liberal, presiden yang mendapatkan mandat penuh dari mayoritas pemilih belum tentu memiliki kedudukan yang kuat. Ia harus pula mendapatkan dukungan mayoritas dari parlemen yang dikuasai oleh anggota partai politik (parpol). Oleh karena itulah, seorang presiden harus membangun koalisi dengan parpol lain. Jika jalan ini tak dilakukan, dikhawatirkan kekuasaan presiden yang mendapat mandat penuh dari rakyat belum tentu bisa dijalankan. Ujung-ujungnya pun bukan saja kekacauan politik, tetapi juga kekacauan keamanan.
Seperti halnya negara-negara lain yang menganut sistem liberal, semarak koalisi partai terjadi juga di Indonesia. Hal ini disamping dikarenakan hal tersebut, ada beberapa alasan lain pula. Pertama, secara politik masyarakat Indonesia itu plural. Dalam masyarakat demikian sulit ditemukan kelompok dominan secara politik. Hal ini senada dengan apa yang di kemukakan oleh Ian O’Flynn dan David Russell (2005) bahwa “Diantara bentuk power sharing adalah adanya pemerintahan koalisi”. Kedua, pemilu kita menganut sistem proporsional. Sistem ini cenderung menghasilkan banyak partai yang memperoleh kursi dan tidak satu partai pun yang mampu meraih kemenangan mayoritas (50 persen + 1). (Kacung Marijan, 2009).
Sejarah koalisi partai di Indonesia
Dalam sejarahnya, sistem kepartaian di Indonesia di mulai dari sejak dikeluarkannya maklumat presiden tanggal 16 Oktober 1945 Nomor X. Pada tahun tersebut banyak partai politik yang di bentuk oleh rakyat berdasarkan pada maklumat tersebut. Maka pada masa kabinet Syahrir I, kabinet-kabinet sudah mulai dijabat oleh partai-partai politik berkoalisi seperti Parkindo dan Masyumi. Sedangkan partai yang tidak ikut berkoalisi adalah partai yang memilih jalur oposisi. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan Miftah Toha (2003) bahwa: “Kabinet yang tersusun pada waktu itu ternyata telah dilakukan berdasarkan koalisi diantara parpol. Selebihnya diantara parpol yang tidak berkoalisi memilih jalur oposisi, koalisi dan oposisi di mulai dari kabinet parlementer syahrir pertama sampai seterusnya dan kembali ke kabinet presidensial Moh.Hatta dan seterusnya”.
Secara umum koalisi yang berlangsung pada masa Orde Lama (Orla) bersifat front, seperti koalisinya Partai Nasionalis Indonesia (PNI), Partai Komunis Indonesia (PKI), dan Nahdlatul Ulama (NU) bekerja sama untuk melawan musuh bersama, imperialisme. Di pihak lain ada juga parpol dan ormas yang bekerja sama dengan militer yang kontrarevolusi dan mendukung imperialisme. Hal terpenting yang menjadi ciri koalisi pada masa Orla adalah kerja samanya sama sekali tidak terkait dengan kepemimpinan seseorang, tetapi lebih pada tujuan.
Pada masa Orba, koalisi terjadi di bawah kepemimpinan negara. Walaupun pada saat itu yang terjadi sebenarnya bukan koalisi melainkan peleburan parpol dan juga ormas yang dipaksakan oleh pemerintah di bawah Presiden Soeharto. Peleburan ini efektif dilakukan setelah pelaksanaan Pemilu 1971, dimana dari sembilan partai politik yang ada, dikerdilkan menjadi tiga kekuatan politik saja. Yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), gabungan dari partai-partai Islam dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), gabungan dari partai-partai berhaluan nasionalis dan agama non-Islam, serta Golong Karya (Golkar). Ini mengindikasikan bahwa PPP mewakili konstituen Islam, PDI mewakili konstituen nasionalis, sedangkan Golkar yang merupakan partai rezim Orba mewakili semua golongan dan juga militer.
Setelah tumbangnya Orba membuat jumlah parpol peserta pemilu 1999 tak hanya tiga parpol, ada 48 parpol yang terdaftar sebagai peserta pemilu. Pada era ini, koalisi pragmatis terjadi di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk memilih presiden dan wakil presiden (wapres). Untuk mengganjal Megawati dan Baharuddin Jusuf Habibie sebagai presiden, sejumlah tokoh islam yang diprakarsai Amien Rais membentuk poros tengah. Poros ini mengajukan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai calon presiden (capres) alternatif di luar Mega dan Habibie. Melalui pemilihan di MPR, upaya poros tengah tersebut akhirnya berhasil. Gus Dur terpilih sebagai presiden, sedangkan Megawati sebagai wapres. Namun usia kesolidan Poros Tengah tidak berlangsung lama, penyebab utamanya tidak meratanya pembagian kue kekuasaan.
Kemudian tahun 2004 terbentuk Koalisi Kebangsaan untuk mendukung pasangan capres-cawapres Megawati Soekarnoputri–Hasyim Muzadi dan Koalisi Kerakyatan untuk mendukung pasangan capres–cawapres Susilo Bambang Yudhoyono–Jusuf Kalla. Tetapi, kedua koalisi ini pun dalam perkembangannya tidaklah solid bahkan cenderung mencair.
Urgensi koalisi permanen
Belajar dari sejarah koalisi tersebut, bisa dipetik hikmah, bahwa membangun koalisi demi terwujudnya pemerintahan yang kuat, mandiri dan tahan lama tidak bisa dilakukan hanya dengan membalikan telapak tangan. Sebab koalisi yang harus dibangun adalah koalisi yang permanen, yaitu koalisi yang terbentuk dari adanya nilai-nilai bersama, tujuan politik yang sama dengan adanya konsensus dan kontrak politik untuk mepertahankan koalisi. Bukanlah koalisi pragmatis yang hanya berdasarkan kepentingan sesaat untuk merebut kekuasaan atau koalisi yang di bangun lebih didasari pada pertimbangan ”bagaimana memenangi pemilu” semata.
Koalisi permanen yang solid mutlak di perlukan karena selama lima tahun pihak-pihak yang berkoalisi akan bergulat di dalamnya. Sehingga tidak timbul perbedaan dalam merumuskan, membuat, dan melaksanakan aneka kebijakan publik di antara pihak-pihak yang berkoalisi melebar, yang cenderung tidak efektif dan berimplikasi kepada kinerja pemerintahan yang tidak bisa maksimal.
Untuk itu kecendrungan elit politik untuk ”bagaimana memenangkan kekuasaan”, seyogyanya di salurkan kea rah “bagaimana menggunakan kekuasaan”. Karena terakhir itu merupakan esensi demokrasi yang jauh lebih penting. Melalui penggunaan kekuasaan, para pejabat politik akan memperlihatkan sejauh mana janji-janjinya terwujud, berikut responsible dan akuntabilitasnya. (Kacung Marijan, 2009).
Seandainya koalisi permanen ini menjadi acuan partai-partai Islam dan yang berbasis masa Islam, maka hal itu akan merupakan langkah apa yang di sebut oleh Din Samsudin “koalisi strategis” yaitu koalisi model poros tengah tetapi berbeda dengan poros tengan 2004. Koalisi strategis ini tidah hanya mengacu bagaimana menghadapi pemilihan presiden, tetapi juga dalam menghadapi persoalan-persoalan strategis bangsa. Ini merupakan pola hubungan jangka panjang antar partai-partai Islam yang berbasis masa Islam dengan tanpa harus melebur eksistensi mereka. Juga merupakan realisasi ukhuwah Islamiyah dan silaturahmi dalam kehidupan politik.
Akhirnya, semoga koalisi yang sekarang lagi di bangun oleh beberapa partai bisa mengarah ke kolisi permanen, atau setidaknya kepentingan rakyat masih ada dalam pikiran mereka. Sehingga pemilu yang sudah mengahabiskan triliunan rupiah ini tidak sia-sia hanya demi mengantarkan segelintir orang ke tampuk kekuasaan semata.
Wallahu a’lam bi as-shawwab.
No comments:
Post a Comment