Setiap tanggal 22 Oktober, kita umat Islam Indonesia selalu memperingati Hari Santri Nasional (HSN) Indonesia. Korelasi antara tanggal tersebut dengan santri tercermin pada adanya seruan Resolusi Jihad yang diprakarsai oleh Hadratussyekh KH. Hasyim Asy’ari pada tanggal 22 Oktober 1945 melalui fatwanya yang ditujukan kepada seluruh kyai, santri dan elemen masyarakat lainnya untuk berjihad mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia dari Agresi Militer Belanda II di bawah payung NICA yang membonceng Sekutu (Inggris).
Dengan adanya peringatan Hari Santri ini, sudah seharusnya para santri dapat memahami secara mendalam dari makna, maksud, esensi, dan nilai-nilai yang terkandung di dalam kata “SANTRI” itu sendiri, agar mereka dapat memaksimalkan segala potensi diri mereka di dalam mengisi kemerdekaan bangsa ini secara serius dan penuh dengan semangat juang yang tinggi, sebagaimana yang telah diserukan dan dicontohkan oleh para kyai dan santri terdahulu, namun dalam bentuk, ragam, dan pola yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi sekarang di era milenial ini. Oleh karena itu, catatan ringan ini akan membahas seputar hal tersebut.
A. Makna dan maksud kata “santri” dari segi asal-usulnya
Jika ditelusuri dari segi asal-usulnya, setidaknya ada lima asal kata yang dikaitkan oleh para pemerhati denga kata “santri” tersebut, yaitu sbb:
1. Berasal dari kata'shastri', salah satu kata dalam bahasa Sanskerta yang artinya orang yang mempelajari kitab-kitab suci agama. Kemudian kata itu berkembang dan diserap ke dalam bahasa Jawa, dan berubah menjadi kata 'santri' yang dimaknai sebagai golongan pelajar yang paham mengenai ajaran agama Islam. Ini adalah pendapatnya C.C. Berg.
2. Berasal dari kata 'sastri', masih salah kata dalam bahasa Sanskerta yang berarti melek huruf atau bisa membaca. Ini pendapatnya Nurkhalis Majid
3. Berasal dari kata 'cantrik', salah satu kata dalam bahasa Jawa yang memiliki arti para pembantu begawan atau resi yang diberi upah berupa ilmu pengetahuan oleh begawan atau resi tersebut, atau bermakna seseorang yang selalu mengikuti gurunya, kemanapun gurunya pergi.
4. Berasal dari dua suku kata serapan dari bahasa inggris, yaitu “sun" dan “tree” yang artinya tiga matahari. Namun maksud tiga matahari dalam kata “suntree” tersebut adalah tiga hal pokok yang harus dimiliki oleh seorang santri, yaitu Iman, Islam dan Ihsan.
5. Merupakan gabungan dari dua kata, yaitu ‘saint’ (manusia baik) dan kata ‘tra’ (suka menolong).
B. Makna kata “santri” dalam KBBI
Makna santri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ada dua, yaitu:
1. Orang yang sedang mendalami ajaran agama Islam.
2. Orang yang beribadah dengan sungguh-sungguh; orang yang saleh.
Dari kata santri itu muncul kata “pesantrian” yang diidentikan dengan pesantren, yaitu asrama atau pondok tempat para santri belajar mengaji dan sebagainya.
C. Makna dan maksud kata “santri” dari segi akronimnya
1. Kata 'santri' dalam tulisan bahasa Arab terdiri dari empat huruf, yaitu ر ت ن س, yang masing-masingnya memiliki kepanjangan, makna dan maksudnya tersendiri, yaitu sbb:
a. Sin (س). Yang artinya ” سَتْرُ الْعَوْرَةِ” (menutup aurat). Maksud menutup aurat di sini mempunyai 2 pengertian yang keduanya saling berhubungan. Yaitu menutup aurat secara tampak oleh mata (dzohiri) dan yang tersirat atau tidak tampak (bathini). Menutup aurat secara dzohiri gambarannya susuai dengan gambaran yang telah ada menurut syari’at Islam, yaitu mulai dari pusar sampai lutut bagi pria dan seluruh tubuh kecuali tangan dan wajah bagi wanita. Adapun menutup auran secara tidak tampak (bathini) yang terpentingnya adalah menutupi dan mempunya rasa malu dalam hal menjaga akhlak dan perilaku. Dalam salah satu hadits ditegaskan bahwa: “Alhaya-u minal iman“, malu sebagian dari iman.
b. Nun (ن). Yang berarti “نائَبُ الْعُلَمَاءِ” (wakil dari ulama). Dalam koridor ajaran Islam dikatakan dalam suatu hadits bahwa : “al-ulama warasul ambiya’ (ulama adalah pewaris nabi). Rasul adalah pemimpin dari ummat, begitu juga ulama. Peran dan fungsi ulama dalam masyarakat sama halnya dengan rasul, sebagai pengayom atau pelayan ummat dalam segala dimensi.
c. Ta’ (ت). Yang artinya “تَرْكُ الْمَعَاصِىْ” (meninggalkan kemaksiatan). Dalam hal ini para santri dituntut dapat mengaplikasikan apa yang telah mereka pelajari berkaitan dengan menjaga hablum minallah dan hablum minannas. Karena tarku al-ma’shi tidak hanya mencakup pelanggaran-pelanggaran hukum yang telah ditetapkan-Nya, tetapi juga hubungan sosial dengan sesama mahluk, baik manusia ataupun yang lain.
d. Ra’ (ر). Yang artinya “رَائِسُ الْأُمَّةِ” (pemimpin ummat). Manusia selain diberi kehormatan oleh Allah sebagai mahluk yang paling sempurna dibanding yang lain, juga diangkat sebagai khalifatullah di atas bumi ini. Sebagaimana diterangkan dalam firman-Nya, yang artinya: “Sesungguhnya aku ciptakan di muka bumi ini seorang pemimpin.” (QS. Al-Baqarah [2]: 30),Yakni makhluk yang diberikan mandate untuk menguasai, mengatur dan memanfaatkan apa saja yang ada di alam dunia ini.
2. Kata “santri” jika ditulis dalam bahasa arab terdiri dari lima huruf, yaitu (سنتري), yang setiap hurufnya memiliki kepanjangan serta pengertian yang luas, yaitu sbb:
a. Sin (س), kepanjangannya سَافِقُ الخَيْرِ yang memiliki arti Pelopor kebaikan.
Oleh sebab itu, setiap santri mesti memiliki jiwa pemimpin dalam melaksanakan kebaikan. Ia mesti menjadi pelopor dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangannya.
b. Nun (ن), kepanjangannya نَاسِبُ العُلَمَاءِ yang memiliki arti Penerus Ulama.
Ulama atau di Indonesia lebih dikenal dengan Kiyai/Ajengan tidak bisa muncul begitu saja kecuali ia telah melalui tahapan-tahapan rumit, sebelum kemudian Allah Swt. meninggikan derajat keilmuannya ditengah-tengah masyarakat. Tentunya ia harus menjalani masa-masa menuntut ilmu serta penggemblengan dalam pembiasaan beribadah. Oleh sebab itu wajar jika santri dikatakan sebagai penerus ulama.
c. Ta (ت), kepanjangannya تَارِكُ الْمَعَاصِى yang memiliki arti Orang yang meninggalkan kemaksiatan. Maksiat adalah sesuatu yang dilarang oleh agama. Sedangkan santri adalah orang-orang yang mendalami dan mempelajari agama secara menyeluruh. Oleh sebab itu, keduanya sangat bertolak belakang dari segi makna. Maka wajar jika santri dikatan sebagai orang yang meninggalkan maksiat.
d. Ra (ر), kepanjangannya رِضَى اللهِ yang memiliki arti Ridho Allah.
Santri adalah orang yang sepatutnya mendapat ridlo Allah SWT (amin). Sebab ia berada dalam jalan pencarian ilmu agama. Yang mana dalam beberapa keterangan, orang yang menuntut ilmu berada dalam ridlo Allah SWT.
e. Ya (ي), kepanjangannya اَلْيَقِيْنُ yang memiliki arti Keyakinan.
Keyakinan adalah sebuah keharusan bagi santri. Sebab ia berada dalam koridor ilmu yang tidak diragukan lagi keuntungannya. Ia tidak boleh menyerah dalam proses tholabul ilmi. Karena apa yang ia usahakan akan berbuah manis bila disertai keyakinan.
3. Ada juga yang sama mengakronimkan dalam bahasa Arab, yaitu (سنتري), namun ada beberapa perbedaan dalam kepanjangan serta pengertiannya, yaitu sbb:
a. Sin (س), yaitu saalik fil ibadah. Maksudnya jalur beribadah santri harus lurus, kuat, dan istiqamah.
b. Nun (ن), yaitu naa'ibun ‘anisy syuyukh. Santri harus mulai menata hati dan bercita-cita untuk meneruskan perjuangan para sesepuh. Untuk itu dia harus menjadikan waktu adalah ilmu sehingga tidak ada waktu yang tersisa kecuali untuk menuntut ilmu.
c. Ta (ت), yaitu ta'ibun ‘anid dzunub. Santri harus senantiasa bertobat dari kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan.
d. Ra (ر), yaitu raghibun fil khairat. Santri mesti selalu senang dengan hal-hal yang positif dan kebajikan.
e. Ya (ي), yaitu yakinun 'ala ma an’amallahu 'alaih. Santri mesti yakin jika Allah Swt. itu sudah memberikan jatah rizki kepada setiap hamba-Nya, namun untuk menjemputnya wajib dibarengi dengan usaha, do'a dan tawakal.
4. Ada juga yang sama mengakronimkan dalam bahasa Indonesia, namun kepanjangan dari masing-masing hurufnya dalam bahasa Arab, sebagaimana berikut ini:
a. S : satir al-'uyub wa al-aurat. Artinya menutup aib dan aurat, baik aib sendiri maupun orang lain.
b. A : aminun fil amanah. Artinya bisa dipercaya dalam megemban amanat.
c. N : nafi' al-'ilmi. Artinya bermanfa'at ilmunya, karena dia mampu mengamalkan ilmu tersebut secara baik.
d. T : tarik al-maksiat. Artinya meninggalkan maksiat.
e. R : ridho bi masyiatillah. Artinya Ridho dengan apa yang diberikan oleh Allah Swt.
f. I : ikhlasun fi jami' al-af'al. Artinya ikhlas dalam setiap beramal perbuatan.
D. Esensi makna dan maksud kata “santri” bagi kita
Dari pemaparan makna dan maksud dari kata “santri” tersebut, baik dari segi asal-usulnya, pengertian dalam KBBI, maupun makna serta maksudnya dalam tinjauan akronimnya, maka dapat diambil sisi esensi dari kata “santri” tersebut, setidaknya menurut hemat saya sendiri, dapat diambil juga dari akronimnya dalam bahasa Indonesia, yaitu sbb:
1. Huruf S, akronim dari “spiritualis”. Maksudnya bahwa seorang santri itu identik dengan orang yang mendalami ajaran agama Islam dan menjalankannya dengan baik dan benar penuh dengan keikhlasan dan keimanan yang kuat kepada Allah Swt, juga menyampaikan atau mendakwahkannya kepada orang lain sesuai dengan kemampuannya.
2. Huruf A, akronim dari “akhlaqi”. Maksudnya bahwa pada diri seorang santri itu melekat akhlak-akhlak yang baik, sehingga dia selalu menjaga hubungan baik dengan Allah (hablum minallah) seperti ikhlas dalam beribadah, bersyukur atas segala pemberian ni’mat-Nya, dan menjauhi segala bentuk kemaksiatan yang dilarang oleh-Nya, lalu dengan sesama manusia (hablum minan naas) seperti saling membantu dalam kebaiakan, tidak saling menghina, dan saling mengingatkan, bahkan dengan makhluk lainnya seperti hewan dan tumbuhan dan lingkungan secara umum seperti menjaga, memperbaharuai dan tidak berbuat kerusakan.
3. Huruf N, akronim dari “nasionalis”. Maksudnya bahwa santri dituntut juga agar mencintai tanah air dan bangsa, sebagaimana dalam salah satu slogan dalam bahasa Arab “hubbul wathan minal iman” (cinta tanah air atau nasionalisme itu bagian daripada keimanan), atau sebagaimana yang tersirat dalam salah satu do’anya Rasulullah Saw. di saat beliau dan para sahabat berhijrah ke Madinah: “Ya Allah, jadikan kami mencintai Madinah, sebagaimana cinta kami kepada Makkah” (HR. Al-Bukhari).
4. Huruf T, akronim dari “terampil”. Maksudnya bahwa santri itu mesti memiliki keterampilan atau skill yang bisa menjadi modal untuk menjalankan kasab atau mata pencaharian sebagai bekal dalam menjalani kehidupan dunia untuk menunjang dalam menjalankan segala amal ibadah yang bisa menyelamatkannya di hari akhirat (lihat surat al-Qashash [28] ayat 77), juga dalam menjalani kehidupan berkeluarga, berbangsa, bernegara sesuai dengan kapasitas dan kapabilitas masing-masing, sehingga tidak menjadi seorang Muslim yang lemah dan meninggalkan keturunan yang lemah pula, dalam hal ini Rasulullah Saw. telah menegaskan bahwa “orang Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah Swt. daripada orang Mukmin yang lemah” (HR. Muslim dan lainnya).
5. Huruf R, akronim dari “reaksioner”. Maksdunya bahwa santri itu jangan hanya mementingkan kesalehan secara individu saja, tetapi juga secara sosial, yaitu dengan menjalankan perintah Allah berupa “amar ma’ruf, nahi munkar” atau mengajak dan menasehati orang lain untuk melakukan kebajikan, juga mengingatkan dan mencegahnya dari melakukan kemunkaran dan keburukan, sebagaimana ditegaskan dalam beberapa ayat al-Qur’an, seperti dalam surat Ali Imran [3] ayat 104, juga dalam hadits Rasulullah Saw.: “Barang siapa diantara kalian melihat kemunkaran, maka ubahlah dengan tangannya; jika tidak bisa, ubahlah dengan lisannya; jika tidak bisa, ubahlah dengan hatinya, dan itu merupakan selemah-lemahnya iman” (HR. Muslim).
6. Huruf I, akronim dari “imajinatif”. Maksudnya bahwa santri juga dituntut agar menggunakan akal fikiran secara imajinatif untuk kebaikan, kemanfaatan, dan kemajuan, baik untuk dirinya, keluarga, mapun bangsa dan negaranya sesuai dengan kemampuannya, yang bukan hanya untuk ruang lingkup duniawi tetapi justru selalu mengaitkan dengan ukhrawi. Berfikir imajinatif di sini maksudnya berfikir untuk mencari dan menemukan cara mengurai dan mengatasi berbagai permalahan dengan menemukan dan merumuskan solusi-solusi jalan keluarnya seacara kongkrit dan jelas sesuai dengan situasi dan kondisi masing-masingnya, yang tidak hanya demi kemaslahatan duniawi tetapi juga ukhrawi (lihat surat Al-Hasyr [59] ayat 18 dan ayat-ayat yang mendorong manusia agar berfikir seperti dengan kalimat “afala tatafakkarun”, dsb). Secara singkatnya adalah berfikir seperti atau dengan meniru cara berfikirnya para “ulul albab” (lihat surat Ali Imran [3] ayat 190-194).
No comments:
Post a Comment