Pendahuluan
Aristoteles adalah salah satu filsuf Yunani yang paling berpengaruh terhadap perkembangan filsafat. Dialah satu dari tiga filsuf yang hidup di masa keemasan filsafat Yunani Kuno, yaitu selain Sokrates dan Plato, sehingga ia dikenal di kalangan cendikiawan Islam sebagai si Guru Pertama (al-Mu'allim al-Awwal).
Salah satu gagasan yang ia kemukakan di dalam bidang filsafat ini adalah tentang "Metafisika" yang secara arti dasarnya adalah "mengikuti fisika" atau "setelah fisika" (ta meta ta physica), yaitu suatu pemikiran filsafat yang ada kaitannya dengan pengetahuan tentang segala "yang ada". Namun istilah "metafisika" ini tidak dipakai oleh Aristoteles sendiri, tetapi diperkenalkan oleh Andronikos Nikolaus dari Rhodos atau Damaskus dimasa kemudian, yaitu ketika ia menerbitkan karya Aristoteles tersebut sekitar abad 70 SM. Sedangkan Aristoteles sendiri ketika itu menyebutnya dengan "filsafat pertama"[1].
Makalah ini akan mengkaji pemikiran filsafat Aristoteles tentang "metafisika" dan meneropong bagaimana para ulama Islam memandang filsafatnya tersebut.
Aristoteles adalah salah satu filsuf Yunani yang paling berpengaruh terhadap perkembangan filsafat. Dialah satu dari tiga filsuf yang hidup di masa keemasan filsafat Yunani Kuno, yaitu selain Sokrates dan Plato, sehingga ia dikenal di kalangan cendikiawan Islam sebagai si Guru Pertama (al-Mu'allim al-Awwal).
Salah satu gagasan yang ia kemukakan di dalam bidang filsafat ini adalah tentang "Metafisika" yang secara arti dasarnya adalah "mengikuti fisika" atau "setelah fisika" (ta meta ta physica), yaitu suatu pemikiran filsafat yang ada kaitannya dengan pengetahuan tentang segala "yang ada". Namun istilah "metafisika" ini tidak dipakai oleh Aristoteles sendiri, tetapi diperkenalkan oleh Andronikos Nikolaus dari Rhodos atau Damaskus dimasa kemudian, yaitu ketika ia menerbitkan karya Aristoteles tersebut sekitar abad 70 SM. Sedangkan Aristoteles sendiri ketika itu menyebutnya dengan "filsafat pertama"[1].
Makalah ini akan mengkaji pemikiran filsafat Aristoteles tentang "metafisika" dan meneropong bagaimana para ulama Islam memandang filsafatnya tersebut.
Biografi
Aristoteles lahir pada tahun 384 SM di Stageria, sebuah kota yang terletak sekitar 200 mil dari arah kiri Athena. Bapaknya seorang sahabat dan dokter pribadi Raja Makedonia yang merupakan kakek dari Aleksander yang Agung[2]. Ketika menginjak usia 18 tahun, ia dikirim ke akademia Plato di Athena untuk belajar disana, dan selama 20 tahun ia menjadi murid Plato disana, yaitu sampai wafat gurunya tersebut pada tahun 347 SM. Kemudian antara tahun 343-342 SM ia diundang oleh Raja Makedonia Philippos untuk menjadi pendidik anaknya Aleksander yang Agung, yang pada waktu itu baru berusia 13 tahun. Pada tahun 334 SM ia kembali ke Athena untuk mendirikan sekolah yang terkenal dengan sebutan "Lisium"[3].
Ketika Aleksander yang Agung wafat pada tahun 323 SM dan timbul huru-hara menentang kerajaan Makedonia, Aristoteles di tuduh sebagai salah satu orang Athena yang berada di balik huru-hara tersebut, sehingga ia di cap pendurhaka, maka iapun melarikan diri ke kota Khalkes. Setelah ia tinggal di sana beberapa bulan, ia ditimpa penyakit yang menyebebkannya meninggal dunia pada tahun 322 SM, yaitu setelah ia berumur 63 tahun[4].
Aristoteles memiliki karya yang banyak sekali, dan oleh sebagian orang dibagi ke dalam 8 bagian, yaitu: logika, filsafat alam, psikologi, biologi, metafisika, etika, politik, ekonomi, retorika dan poetika.
Karya-karyanya tersebut ia hasilkan dalam tiga tahapan perkembangan pemikirannya, yaitu: pertama, tahap di akademia, yaitu ketika ia masih mengikuti ajaran gurunya Plato secara keseluruhan. Kedua, tahap di Asos (Asia kecil), yaitu ketika ia menemukan filsafatnya sendiri dan mengkritik ajaran Plato tentang idea-idea. Ketiga, tahap di sekolahnya di Athena, yaitu ketika pemikirannya berbalik dari spekulasi ke penyelidikan empiris, mengindahkan yang kongkrit dan yang individual[5].
Metafisika Aristoteles
Aristoteles dianggap filsuf pertama yang memberikan batasan-batasan permasalahan-permasalahan penting metafisika dan membedakannya dari bidang-bidang filsafat lain serta menjadikannya bidang filsafat yang berdiri sendiri, dimana ia telah membagi ilmu teori ke dalam tiga bagian utama: ilmu pengetahuan alam, ilmu matematika dan metafisika[6].
Pembahasan-pembahasan penting yang ia kemukakan di dalam karyanya yang membahas metafisika atau flsafat pertama adalah mengani definisi metafisika, pandangannya tentang "yang ada" dan "esensi", kritikannya terhadap pemikiran Plato tentang "idea" dan penjelasan pendapatnya mengenai "sebab-sebab pertama" mengenai "yang ada" dan pandangannya mengenai teologi[7].
Definisi metafisika menurut Aristoteles adalah ilmu yang mempelajari mengenai "yang ada" sebagai "yang ada"[8]. Juga merupakan ilmu pengetahuan yang mencari prinsip-prinsip fundamental dan penyebab-penyebab pertama. Bahkan merupakan ilmu tertinggi yang mempunyai obyek paling luhur dan sempurna dan menjadi landasan bagi seluruh adaan, yang mana ilmu ini sering disebut juga dengan theologia[9].
Seorang filsuf berkebangsaan Jerman, Christian Wolff, berpendapat bahwa pemaparan Aristoteles mengenai definisi metafisika ini terfokus kepada dua obyek penting, yaitu: “yang ada” sebagai yang ada (being qua being) dan “yang ada” sebagai yang ilahi. Lebih lanjut ia mengkategorikan obyek metafisika Aristoteles yang pertama dengan metafisika umum (metaphysica generalis) atau juga sering disebut ontologi dan yang kedua dengan metafisika khusus (metaphysica specialis).
Menurutnya metafisika umum (ontologi) mengkaji realitas sejauh dapat diserap melaui indera, sedangkan metafisika khusus mengkaji realitas yang tidak dapat diserap indera, apakah itu realitas ketuhanan (teologi), semesta sebagai keseluruhan (kosmologi) maupun kejiwaan (psikologi)[10].
Pembagian obyek metafisika seperti ini dapat kita fahami secara lebih mendalam lagi apabila kita mengacu kepada pemikiran filsafatnya al-Farabi, dimana ia membagi wujud (yang ada) non fisik mutlak, yang menduduki peringkat tertinggi dalam hierarki wujud, berdasarkan kepada terminologi filosofis dan religius. Menurutnya dalam terminology filosofis wujud (yang ada) non fisik itu merujuk kepada Sebab Pertama, sebab kedua, dan intelek aktif, sedangkan dalam terminologi religius mengacu kepada Tuhan[11].
Inti sari ajaran Aristoteles mengenai metafisika ini adalah bahwa "yang ada" dalam arti yang mutlak adalah apa yang telah terwujud. "Yang tidak ada" hanya dapat menjadi "yang ada" secara mutlak atau menjadi "yang ada" secara terwujud, jikalau melalui sesuatu. Diantara "yang tidak ada" dan "yang ada" secara mutlak itu terdapat "ada yang nyata-nyata mungkin" atau "yang ada" sebagai kemungkinan, sebagai bakat, sebagai potensi, sebagai dunamis. "Yang ada" sebagai potensi (dunamis) ini pada dirinya bukanlah sesuatu, sekalipun dapat menjadi sesuatu, dan ia cendrung menjadi "yang ada" secara terwujud, sehingga ia dapat dipandang sebagai perealisasian dari "yang ada" secara terwujud ini. Oleh karena itu "yang ada" secara potensi dan "yang ada" secara terwujud ini walaupun tidak dapat dipisah-pisahkan, akan tetapi secara hakiki keduanya harus dibedakan.
Menurutnya keduanya ini dipakai guna memecahkan soal perubahan dan gerak dalam arti yang lebih luas, yang mencakup hal "menjadi" dan "binasa" serta perubahan lainnya, baik dibidang bilangan maupun di bidang mutu dan bidang ruang. Dia memandang bahwa tiap gerak itu sebenarnya mewujudkan suatu perubahan dari apa yang ada sebagai potensi ke apa yang ada sebagai terwujud, sehingga selanjutnya apa yang ada sebagai potensi tersebut menjadi berpindah ke apa yang ada sebagai terwujud. Apa yang ada sebagai terwujud ini tidak dapat mengusahakan perubahannya dari dirinya sendiri, sehingga diperlukan adanya suatu penggerak yang pada dirinya sendiri sudah memiliki suatu kesempurnaan, yang tidak perlu disempurnakan, tidak digerakan oleh penggerak yang lain, tidak mungkin dibagi-bagi dan tidak mungkin memiliki keluasan serta bersifat fisik, itulah "Penggerak pertama". "Penggerak pertama" yang demikian itu tidak berasal dari dalam dunia, sebab di dalam jagat raya ini tiap gerak digerakan oleh sesuatu yang lain. Penggerak pertama ini adalah Actus Purus, aktus murni (Tuhan) yang kuasanya tak terhingga dan kekal dan yang menyebabkan gerak abadi, yang sendiri tidak digerakan, karena bebas dari materi[12].
Kemudian Aristoteles memandang bahwa "yang ada sebagai potensi" dan "yang ada sebagai terwujud" itu merupakan sebutan yang melambangkan materi (hule) dan bentuk (eidos, morfe). Yang dimaksud materi disini adalah apa yang diistilahkan olehnya dengan "materi pertama", yaitu dasar terakhir bagi segala perubahan dari hal-hal yang berdiri sendiri dan unsur bersama yang terdapat di dalam segala sesuatu yang "menjadi" dan "binasa". Materi pertama inilah yang menjadi sumber pertama timbulnya berbagai macam sesuatu yang sempurna di jagat raya ini. Dalam arti yang mutlak materi ini adalah asas atau lapisan bawah yang paling akhir dan umum, yang darinya tersusun tiap benda yang dapat diamati dan secara mutlak lepas dari segala bentuk, tidak memiliki kenyataan dan bukan hal yang berdiri sendiri. Namun demikian materi ini bukan sesuatu yang tidak ada sama sekali. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa materi ini adalah kenyataan yang belum terwujud dan belum ditentukan, akan tetapi ia memiliki potensi dan bakat untuk menjadi terwujud atau menjadi ditentukan oleh bentuk.
Demikianlah pada materi ini ada kemungkinan untuk menjadi nyata apabila ada kekuatan yang membentuknya. Sehingga materi dan bentuk ini tidak dapat dipisahkan, karena materi tidak dapat terwujud tanpa bentuk, sebaliknya bentuk tidak dapat terwujud tanpa materi. Maka setiap benda yang dapat diamati tersusun dari materi dan bentuk, dimana materinya adalah rangkuman segala yang belum terwujud dan belum ditentukan, sedangkan bentuknya memberi kesatuan kepada benda itu[13].
Pemikiran Aristotels ini merupakan solusi atas kritikannya terhadap pemikiran gurunya Plato yang mengemukakan tentang dualisme realitas, yaitu antara dunia idea-idea dan dunia benda-benda konkrit, dimana dunia idea itu menurutnya adalah pola segala sesuatu yang berdiri sendiri dan tempatnya di luar dunia ini, sehingga ia terpisah atau lepas daripada benda-benda konkrit tersebut. Adapun Aristoteles berpendapat bahwa idea adalah asas yang imanen atau yang berada di dalam benda yang kongkrit, atau dengan kata lain bahwa hakikat suatu benda itu berada dalam benda itu sendiri; bukan dalam segala macam idea, maka setiap benda itu selalu merupakan pengejawantahan dari materi dan bentuk.
Atas dasar pemikirannya ini Aristoteles membedakan empat "penyebab" untuk mengartikan suatu kejadian/penampakan: Pertama, penyebab material (causa materialis), yaitu bahan dari mana suatu benda dibuat, misalnya bahan material telephon adalah plastik. Kedua, penyebab formal (causa formalis), yaitu bentuk yang menyusun bahan, seperti bentuk telephon ditambahkan pada plastik sehingga menjadi sebuah telephon. Ketiga, penyebab final (causa finalis), yaitu tujuan yang menjadi arah seluruh kejadian, misalnya telephon dibuat agar orang dapat berkomunikasi. Keempat, penyebab efisien (causa efficiens), yaitu "penggerak" atau "motor" yang menjalankan kejadian, misalnya tukang telephon membuat telephon[14].
Kemudian Aristoteles berpendapat bahwa materi dan bentuk ini bukan hanya berlaku bagi benda-benda hasil buatan manusia saja seperti: patung, meja, kursi atau seperti telephon pada contoh diatas dll, akan tetapi berlaku juga bagi hal-hal alamiah yang mengandung asas perkembangan di dalamnya dan memiliki sumber gerak dalam dirinya sendiri seperti biji yang tumbuh menjadi pohon, lalu dari pohon kecil berkembang menjadi pohon besar, disamping itu ia mempertahankan diri sebagai pohon, dan lain sebagainya.
Dari sini tampak bahwa tiap benda yang berkembang dan memiliki gerak mengarah kepada kesempurnaan bentuknya sendiri, sehingga gerakannya atau perbuatannya adalah menyempurnakan bentuknya sendiri tersebut. Oleh karena itu segala yang bergerak atau yang berbuat itu menuju kepada suatu tujuan. Namun badan-badan jagat raya yang bergerak mengelilingi bumi pada dirinya telah memiliki kesempurnaan, kekal dan tidak akan musnah, seperti halnya dengan waktu yang kekal juga, maka ia bergerak bukan dengan tujuan untuk mencapai kesempurnaannya, tetapi untuk menuju kepada "Penggerak yang tidak digerakan", yang tidak ada di dalam ruang yang terbatas, yang tidak bersifat bendani, yang adalah aktus atau bentuk murni, yaitu Tuhan. Dialah yang menggerakan segala badan jagat raya itu[15].
Ketika "Penggerak pertama" yang tidak digerakan itu (Tuhan) dikaitkan dengan sebab-sebab (causa-causa) yang disebutkan diatas, maka Aristoteles memandang bahwa kedudukan "Penggerak pertama" itu bukan sebagai penyebab efisien (causa efficiens), melainkan sebagai penyebab final (causa finalis); karena Dia adalah aktus murni yang tidak menuntut objek material, akan tetapi hanya menyebabkan semuanya bergerak kepada diri-Nya sebagai telos, sebagai tujuan. Artinya, segala sesuatu yang ada mengarah kepada "Penggerak pertama" itu. Gerak dalam jagad raya sama saja dengan gerak menuju Tuhan. Dalam bahasa puitisnya Aristoteles berucap, "Ia menggerakkan karena dicintai" (kinei de hos eromenon).
Namun, Tuhan sebagai "Penggerak pertama" tidak mengenal dan mencintai sesuatu yang lain dari pada diri-Nya sendiri. Karena seandainya Tuhan sampai mengenal dan mencintai dunia (sebagai objek), Dia harus mempunyai potensi juga. Jika demikian halnya, Dia bukan lagi aktus murni[16].
Jadi "yang ada" menurut Aristoteles apabila dilihat dari segi essensinya terbagi tiga: dua diantaranya bersifat natural dan ketiganya bersifat azali tidak bergerak. Essensi "yang ada" yang pertama adalah sesuatu yang parsial dan tersusun dari materi dan bentuk, seperti kuda. Essensi "yang ada" yang kedua adalah yang menunjukan kepada jenis sesuatu, seperti manusia dan hewan. Kedua essensi "yang ada" ini menerima bentuk dan kerusakan. Sedangkan essensi "yang ada" yang ketiga adalah yang sama sekali tidak menerima bentuk dan kerusakan, yang abdi, yang diam tidak bergerak, yang menggerakan segala sesuatu, Dialah Allah "penggerak pertama" yang tidak bergerak[17]. Dia tidak bergerak karena gerakan itu sesungguhnya adalah perpindahan dari satu hal ke hal lain. Dalam hal ini apabila "penggerak pertama" ini memungkinkan untuk memiliki sifat bergerak, maka ia akan berpindah dari halnya sekarang ke hal lain, yang keberadaannya bisa lebih jelek atau lebih bagus dari hal sebelumnya tersebut atau serupa dengan hal tersebut. Semua itu bertentangan dengan apa yang seharusnya dimiliki oleh kesempurnaan mutlak[18].
Dia adalah "yang ada" yang maknawi, yang dominan, bukan materi, tidak terlihat, tidak memiliki tempat, tidak berjenis, kekal abadi, tidak menciptakan alam semesta; akan tetapi menggerakannya seperti pecinta menggerakan orang yang dicintainya dan seperti hasrat atau keinginan menggerakan beberapa perkara. Dia tidak berbuat sesuatu dan tidak memiliki hasrat-hasrat, keinginan-keinginan dan tujuan-tujuan, akan tetapi dia hanyalah daya hidup saja pada tataran dia sama sekali tidak berbuat apa-apa. Dia memiliki kesempurnaan mutlak sehingga tidak berkeinginan apa-apa dan perbuatannya berkutat seputar berfikir mengenai essensi segala sesuatu pada dirinya sendiri, maka satu-satunya perbuatan dia adalah berfikir pada dirinya sendiri[19].
Kemudian sebagai solusi atas pemikiran dia bahwa "Penggerak pertama" (Tuhan) tidak menciptakan alam semesta; akan tetapi hanya menggerakannya saja, maka ia berpendapat bahwa alam semesta itu qadiim (tidak mempunyai permulaan) dan akan ada selamanya (kekal). Oleh karena itu jagat raya tidaklah membutuhkan pencipta yang menciptakannya, begitu juga setiap sesuatu/perkara yang ada didalamnya tidaklah membutuhkan pencipta yang menjadikannya ada[20].
Lebih lanjut dia menjelaskan bahwa walaupun jagat raya itu tidak mempunyai permulaan seperti "Penggerak pertama", tetapi secara sebab "Penggerak pertama" tersebut mendahului jagat raya, seperti premis-premis (dasar-dasar pikiran) mendahului konklusi-konkusinya di dalam akal fikiran, akan tetapi "Penggerak pertama" tersebut tidak mendahuluinya secara tahapan waktu/zaman, karena zaman adalah pergerakan jagat raya, atau seperti yang ia katakan: "Jagat raya tidaklah diciptakan di dalam zaman"[21].
Kedudukan Metafisika Aristoteles di Kalangan Para Ulama Muslim
Masuknya filsafat yunani, khususnya filsafat metafisika Aristoteles, ke dunia Islam yang secara besar-besaran dimulai dari sekitar awal abad ke-3 Hijriah, yaitu ketika kaum muslimin dipimpin khalifah Abdullah Al-Ma`mun (dari Bani ‘Abbasiyyah), telah mendapat tanggapan yang berbeda-beda dan banyak menimbulkan perdebatan dan kajian yang panjang di kalangan ulama-ulama Islam yang secara turun temurun, yang secara umum terbagi ke dalam tiga kelompok:
1. Kelompok yang menanggapi filsafat Yunani, khususnya metafisika Aristoteles, secara antusias.
Kelompok ini adalah mereka yang kemudian dikenal dengan para filosof Islam seperti: al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Miskawaih, Ibnu Tufail dan Ibnu Rusyd. Bentuk respon yang sangat besar terhadap filsafat Yunani tersebut terlihat dari usaha-usaha mereka dalam menyesuaikan filsafat mereka dengan ajaran dasar Islam secara mudah. Pemikiran "idea" Plato, "Penggerak Pertama" Aristoteles dan "Yang Maha Satu" Plotinus mereka identikan dengan Allah swt, bahkan al-Farabi berpendapat bahwa Plotinus dan Aristoteles termasuk dalam jumlah nabi-nabi yang tidak disebutkan namanya dalam al-Qur'an[22].
Dalam hal ini, al-Farabi telah melakukan dua usaha untuk merealisasikan pendapatnya tersebut, yaitu: pertama, mengadakan keharmonisan antara filsafat Aristoteles dan Plato sehingga ia sesuai dengan dasar-dasar Islam. Kedua, memberikan penafsiran-penafsiran rasional terhadap ajaran-ajaran Islam[23]. Atas usaha al-Farabi dalam mendalami filsafat metafisika Aristoteles dan Plato tersebut, ia digelari julukan Mu'alim Tsani (Guru Kedua), karena Guru Pertama diberikan kepada Aristoteles yang dianggap sebagai peletak dasar ilmu logika yang pertama dalam sejarah dunia[24], julukan al-Farabi ini juga sebagai penguat atas julukan lain yang diberikan para ahli yang telah sepakat memberikan pujian yang tinggi kepadanya, yaitu julukan sebagai juru bicara Plato dan Aritoteles pada masanya[25].
Adanya respon yang antusias terhadap filsafat Yunani, khususnya metafisika Aristoteles, tersebut didasarkan kepada keyakinan mereka bahwa antara agama dan filsafat atau antara wahyu dan akal tidak ada pertentangan. Walaupun dalam hal apabila didapati ada pertentangan antara keduanya, mereka berbeda pendapat, dimana sebagian mereka berpendapat bahwa wahyu yang di diambil, seperti pendapatnya al-Kindi; sedangkan sebagian yang lainnya lebih mengutamakan akal daripada wahyu, seperti al-Farabi[26].
Al-Kindi meyakini bahwa setiap yang datang dari Allah 'azza wajal kepada Nabi Saw memungkinkan untuk bisa difahami melalui neraca akal, sehingga ia menetapkan bahwa ada dua jalan untuk mencapai kepada ma'rifah: melalui akal dan melalui wahyu, dan kedua-duanya akan menyampaikan kita kepada satu kebenaran[27].
Lebih lanjut al-Farabi mengatakan bahwa fisafat dalam arti penggunaan akal pikiran secara umum dan luas adalah lebih dahulu daripada keberadaan agama, baik ditinjau dari sudut waktu (temporal) maupun dari sudut logika. Dikatakan "lebih dahulu" dari sudut pandang waktu, karena al-Farabi meyakini bahwa permulaan penggunaan akal secara luas, yang menandai tumbuhnya filsafat, bermula sejak zaman Mesir Kuno dan Babilonia, jauh sebelum diutusnya Nabi Ibrahim dan Nabi Musa. Dikatakan "lebih dahulu" secara logika, karena ia berpandangan bahwa semua kebenaran dari agama harus dipahami dan dinyatakan, pada mulanya lewat cara-cara rasional, sebelum kebenaran itu diambil oleh para Nabi[28].
Oleh karena itulah kemudian Ibnu Rusyd mewajibkan mempelajari filsafat dan memandang bahwa fungsi filsafat tidak lebih dari mengadakan penyelidikan tentang alam wujud sebagai jalan untuk menemukan Zat yang membuatnya[29].
2. Kelompok yang menanggapi filsafat Yunani, khususnya metafisika Aristoteles, dengan rasa gembira.
Kelompok ini adalah mereka yang menggunakan metode-metode filsafat untuk ilmu kalam guna mempertahankan pemahaman akidah Islam mereka dari serangan musuh yang menggunakan metode filsafat Yunani, khususnya filsafat metafisika Aristoteles, dan untuk menentang umat Islam yang tidak setuju dengan pendapat yang mereka kemukakan. Diantara ahli ilmu Kalam terdahulu yang tertarik kepada konsepi-konsepsi Yunani adalah Hisham Ibn Hakam dan Dirar Ibn Amr, yang keduanya hidup kira-kira dari tahun 780 sampai 800 Masehi[30].
Prof. Fuad Al-Ahwani mengemukakan bahwa pada abad ke-6 H filsafat telah bercampur dengan ilmu kalam, sampai yang terakhir ini para ahli kalam telah menelan filsafat sedemikian rupa dan memasukkannya di dalam kitab-kitab mereka. Sehingga kitab-kitab tauhid yang membahas ilmu kalam didahului dengan pendahuluan mengenai logika metafisika Aristoteles dengan mengikuti cara para filosuf[31].
Walaupun kebanyakan para ahli kalam tidak mengambil secara langsung filsafat metafisika Aristoteles, tetapi cara berfikir atau silogisme Aristoteles dalam mengemukakan pendapatnya mengenai metafisika ini telah membuka jalan bagi mereka untuk meramu suatu ilmu yang mengandalkan logika, yaitu "ilmu manthiq", sehingga ciri utama ilmu kalam tidak jauh berbeda dengan filsafat metafisika Aristoteles, yaitu mengandalkan manthiq atau logika formal. Hal ini seperti dapat kita ketahui misalnya dari buku yang berjudul "Mawaqif" karya Al-Iji (m 1355 M) dan buku "Muhassal" karya Fakhr al-Din al-Razi (m 1210 M).
Adz-Dzahabi berkata di dalam as-Siyar (11/236) tentang hubungan antara silogisme Aristoteles (ilmu logika) dengan penyebaran ilmu kalam tersebut yang dimulai dari masa Khalifah Al-Makmun: "Kemudian muncul Kholifah Al-Makmun. Dia dulunya adalah orang yang cerdas dan ahli kalam. Dia mempunyai perhatian dengan masalah logika. Kemudian dia mendatangkan buku-buku orang-orang dulu dan menerjemahkan filsafat manthiq Yunani. Dia semakin tenggelam dan larut dalam hal itu. sehingga Al-Jahmiyyah dan Al-Mu’tazilah menampakkan kepalanya, bahkan syiah juga demikian. Bahkan keadaannya berubah, sampai Al-Makmun memaksa ummat Islam untuk berpendapat bahwa Al-Qur’an itu makhluk. Dia juga menguji para ulama dan tidak memberi tenggang"[32].
3. Kelompok yang menanggapi filsafat Yunani, khususnya metafisika Aristoteles, dengan kritis.
Kelompok ini adalah para fukaha, ahli tafsir dan ahli bahasa yang tidak senang dengan kedatangan filsafat yunani, khususnya metafisika Aristoteles, bahkan kemudian sebagian besar mereka (jumhur) mengharamkan mempelajarinya, seperti: Muhyedin Al-Nawawi (1233-1277 M), Ibnu Shilah (1181-1243 M), Ibnu Taimiyah (1263-1328 M) yang telah menentang Logika secara sengit dengan mengarang buku "Fashihatu ahlil Iman fi Raddi `al Mantiqil Yunani" dan Saadudin At-Tafzani dengan fatwa haram terhadap "Logika" di dalam bukunya "Tahzibul Mantiqi Wal Kalam" serta ulama-ulama lainnya [33].
Diantara alasan-alasan mereka mengharamkan mempelajari filsafat, khususnya metafisika Aristoteles tersebut adalah sebagai berikut[34]:
a. Islam yang termaktub dalam al-Qur`an dan hadits-hadits Rasulullah Saw sama sekali tidak memerintahkan atau menganjurkan umatnya untuk memahami Islam melalui ilmu filsafat, ilmu kalam atau logika, bahkan banyak sekali ayat-ayat al-Qur`an dan hadits-hadits Rasulullah Saw yang membantah dan meluluhlantahkan logika-logika di luar wahyu yang telah menjadi manhaj umumnya manusia di saat itu (masa jahiliyah yang tersebar di seluruh bagian dunia seperti Persia, Romawi dan bangsa Arab).
Allah swt berfirman melalui lisan Rasulullah saw: "Maka patutkah Aku mencari hakim selain daripada Allah, padahal Dialah yang telah menurunkan Kitab (al-Quran) kepada kalian dengan terperinci? orang-orang yang telah kami datangkan Kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa al-Quran itu diturunkan dari Rabb kalian dengan sebenarnya. Maka janganlah kalian sekali-kali termasuk orang yang ragu-ragu. Telah sempurnalah kalimat Rabb kalian (yaitu al-Quran) sebagai kalimat yang benar dan adil. tidak ada yang dapat merobah-robah kalimat-kalimat-Nya dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Dan jika kamu (Ya Rosulullah) menuruti kebanyakan orang-orang yang ada di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka hanya mengikuti persangkaan belaka, dan mereka hanyalah berdusta (terhadap Allah). Sesungguhnya Robbmu, Dia-lah yang lebih mengetahui tentang orang yang tersesat dari jalan-Nya dan dia lebih mengetahui tentang orang orang yang mendapat petunjuk". (Qs. Al An`am [6]: 114-117).
b. Kaum salaf ash-shalih (para ulama yang hidup di 3 kurun terbaik umat Islam) sama sekali tidak mengenal filsafat Aristoteles dan ilmu kalam apalagi untuk digunakan sebagai alat memahami kebenaran atau kebaikan hakiki.
Rasulullah saw telah memuji para salaf ash-shalih dengan gelar masa terbaik; terbaik dalam agamanya, akhlaknya dan seluruh sifat-sifat kemuliaannya. Rasulullah saw bersabda: "Sebaik-baik manusia adalah di masaku, kemudian manusia-manusia satu masa setelah itu, kemudian manusia-manusia satu masa lagi setelah itu.." (HR. Bukhori).
Allah swt berfirman: "Jika mereka beriman seperti apa-apa yang kalian (hai orang-orang yang beriman bersama Rasulullah) telah imani, sungguh mereka telah mendapat hidayah; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam kesesatan. Allah akan memelihara kamu dari mereka. dan Dia-lah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui. (Qs. Al Baqoroh [2]: 137).
Dengan kedudukan mereka tersebut, tidak didapati di sepanjang sejarah kehidupan mereka bahwa mereka mengetahui filsafat Aristoteles dan ilmu kalam atau menggunakannya dalam keilmuan dan keberagamaan mereka. Mereka sudah sangat cukup cerdas dan mulya dengan apa yang mereka dapatkan dalam al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah saw. Dalam hal ini Abu Dzar ra berkata: “Sesungguhnya Nabi saw telah meninggalkan kita.. tidak ada seekor burungpun yang mengepakkan sayapnya di atas langit, kecuali beliau Saw sebutkan ilmu tentangnya”. (HR. Imam Ahmad dalam Musnadnya: 5/153).
c. Filsafat atau mantiq merupakan aturan logika yang dilahirkan oleh para filosof Yunani, khususnya aristoteles dan plato dengan teori filsafatnya masing-masing. Mereka adalah masyarakat paganisme (musyrikin) yang sama sekali tidak mengenal ajaran para nabi dan rosul. Untuk itu pantaskah logika dijadikan manhaj atau metode berpikir dalam menerapkan Islam yang benar?
Syihristani berkata :"Awal syubhat yang terjadi pada makhluk adalah syubhat Iblis. Sumber Iblis adalah keterlaluanyya dalam ra`yu (pandangan-pandangan logika) untuk menentang nash dan upayanya lebih memilih hawa untuk menentang perintah Allah serta kesombongannya dengan bahan mentah asal penciptaannya, yaitu api dibandingkan bahan mentah asal penciptaan Adam, yaitu tanah”. (Al Milal wa An Nihal: 1/16).
d. Orang-orang yang andil dalam dunia filsafat pada mulanya adalah kaum nasrani yang kafir serta kaum zindiq. Tak ada satu ulama pun di kalangan para tabi`in, maupun tabi`ut tabi`in apalagi di kalangan para sahabat yang menyebut-nyebutnya apalagi menggunakannya dalam memahami dan melaksanakan Islam. Bahkan banyak sekali riwayat yang menyatakan bahwa para ulama di saat itu sangat menentang penggunaan filsafat, ilmu kalam atau mantiq dalam memahami Islam.
Era Penerjemahan pada masa Dinasti Abbasiyah berlangsung selama satu abad yang telah dimulai sejak 750 M. Karena sebagian besar penerjemah adalah orang yang berbahasa Aramik, maka berbagai karya Yunani pertama kali diterjemahkan ke dalam bahasa Aramik (Suriah) sebelum akhirnya diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Salah satu penerjemah pertama dari bahasa Yunani adalah seorang Suriah Kristen, Yuhanna (Yahya) ibn Masawayh, murid Jibril in Bakhtisyu. Salah satu murid Yuhana ini adalah Hunayn ibn Ishaq, seorang sarjana terbesar dan figur terhormat pada masanya, yang diriwayatkan telah menerjemahkan beberapa manuskrip untuk al Rasyid, dan disebut-sebut sebagai “Ketua para penerjemah” pada saat itu. Dia adalah penganut sekte ibadi, yaitu pemeluk Kristen Nestor dari Hirah. Salah satu naskah berbahasa Yunani yang telah ia dan ayahnya terjemahkan ke dalam bahasa Suriah, kemudian ke dalam bahasa Arab adalah naskah Hermeneutica karya Ariestoteles.
Seperti halnya Hunayn yang mengambil posisi terdepan dalam kelompok penerjemah dari penganut Kristen Nestor, Tsabit ibn Qurrah juga berada pada barisan pertama kelompok penerjemah lainnya yang direkrut dari orang Saba, penyembah berhala dari Harran. Prestasi besar Tsabit dilanjutkan oleh anaknya Sinan serta dua cucunya Tsabit dan Ibrahim, kemudian anak cucunya Abu al Faraj. Seluruh orang-orang tersebut dikenal sebagai penerjemah dan ilmuan.
e. Perlu di ingat dengan sangat tegas bahwa saat seorang muslim lari dari jalan al-Qur'an, Sunnah Rasulullah Saw dan pemahaman salaf ash-shalih, ternyata yang lahir setelah itu adalah kumpulan kegelisahan, kegamangan dan kebingungan; kebingungan orang-orang yang berotak cerdas. Salah satu contohnya Al-Juwainy yang sangat dikagumi kecerdasannya, sehingga dizamannya ia diberi predikat Imam al Haramain (imam dua negri suci, Mekkah dan Madinah). Jiwanya gelisah dalam perdebatan-perdebatan filsafat itu. Meskipun ia dapat dikatakan telah sampai pada puncak kepakaran dalam banyak disiplin ilmu, tetapi tetap saja gelisah, yang akhirnya melahirkan penyesalan mendalam. Sehingga di penghujung hayatnya, ia pernah berucap: “Sungguh aku telah tenggelam dalam laut yang mengombang-ambingkan, kutinggalkan ilmu-ilmu kaum muslimin yang sesungguhnya, lalu aku masuk mempelajari apa yang telah mereka larang. Dan sekarang, duhai, jika saja Allah tidak menolongku dengan rahmatNya, maka kebinasaanlah untuk putra Al Juwainy ini. Inilah aku, aku mati dengan meyakini agama orang-orang badui".
Al Ghazaly adalah contoh lain dalam masalah ini. Perjalanan panjang dan kesungguhannya yang kuat mengantarkan ia menjadi seorang ulama yang dikenal sangat cerdas sehingga ia dijuluki hujjatul Islam dengan karya fenomenalnya Ihya’ ‘Ulumuddin. Tetapi ternyata ia juga pernah terjebak dalam kegelisahan atau skeptis. Hal itu kemudian mendorongnya menulis sebuah buku yang mengingatkan orang untuk tidak mengikuti jejaknya mempelajari ilmu Kalam. Buku itu berjudul Iljaam Al ‘Awaam ‘an ‘ilmil Kalam.
Begitu juga Abu Abdillah Muhammad ibn Umar Ar-Rozy, dia bersyair dalam kitabnya (Aqsamulladzat): Akhir langkah logika adalah kekacauan. Dan penghujung usaha dunia adalah kesesatan. Ruh-ruh yang berada di jasad selalu galau. Hasil dunia hanyalah kepedihan dan bencana. Kami tidak mendapatkan faidah dari pembahasan sepanjang usia, kecuali kumpulan katanya begini dan begitu.
An-Nadawi mengatakan di dalam buku "Mâdzâ Khasira al-'Alam bi Inhithâth al-Muslimin": “Perhatian yang diberikan ulama dan para cendekiawan muslim kepada ilmu-ilmu sains yang praktis tidak sama, bahkan jauh di bawah perhatian yang mereka berikan pada penelitian metafisika yang mereka pelajari dari Yunani, padahal metafisika dan filsafat ketuhanan Yunani tidak lain adalah keyakinan penyembah arca yang diberi warna-warni baru, dan merupakan sederet anggapan atau omong kosong yang tidak bermakna. Pada hakikatnya, Allah Swt telah memenuhi kebutuhan muslimin dengan ajaran-ajaran langit yang menyerupai penelitian dan analisa kimia sehingga mereka tidak lagi perlu pada pembahasan rasional metafisika.
Identifikasi Masalah dan Solusinya
Aristoteles adalah salah satu filosof yunani yang hidup pada abad IV SM, suatu zaman dimana pemikiran-pemikiran filsafat Yunani yang hanya bertumpu pada akal berkembang dengan pesat, yang dimulai dari kemunculan filosof Thales sekitar abad VI. Secara umum perkembangan pemikiran-pemikiran filsafat tersebut dapat dikategorikan ke dalam 3 aliran, sebagaimana yang diklasifikasikan Imam Al-Ghazali di dalam kitabnya "Al-Munqidz Min Adh-Dhalal"[35]:
1. Dahriyyah (Materialis), yaitu suatu aliran filsafat yang berkeyakinan bahwa alam ini telah ada tanpa permulaan dan selalu demikian adanya, sehingga mereka tidak mengakui adanya Pencipta.
2. Thobi'iyyah (Naturalis), yaitu suatu aliran filsafat yang sedikit berbeda dari aliran sebelumnya, karena mereka terpesona dengan fenomena-fenomena yang terjadi pada alam dan berkesimpulan alam ini pasti ada yang menciptakan. Namun keterpesonaan mereka terhadap alam materi membuat mereka mengingkari segala hal yang bersifat non-materi seperti jiwa manusia yang hancur setelah jasad mereka mati, hari akhir dan sejenisnya.
3. Ilahiyyah (Theis), yaitu suatu aliran filsafat yang mengakui adanya Pencipta, jiwa manusia dan hari kebangkitan. Namun menurut al Ghazali, meski demikian dalam pemikiran mereka masih terdapat benih-benih kekufuran, yang membawa mereka dan para muridnya terpeleset ke jurang kekufuran. Termasuk dalam aliran ini adalah Sokrates, Plato dan Aristoteles yang menjadi guru bagi filosof dari dunia Islam seperti ibnu Sina dan al Farabi.
Dari pemaparan diatas, ada 3 masalah yang ada kaitannya dengan Aristoteles yang perlu di identifikasi secara mendalam dan proporsional dan dikaitkan dengan keterangan al-Qur'an, hadits dan pendapat para ulama Islam, sehingga setelah itu kita dapat mendudukan Aristoteles secara proporsional. Ketiga masalah tersebut adalah sebagai berikut:
1. Masalah masa dan tempat Aristoteles hidup
Maksudnya adalah ketika kita menelusuri masa dan tempat dimana Aristoteles hidup, maka kita harus mengaitkan dengan pendapat para ulama Islam tentang ahli fatroh, yaitu masa kevakuman rasul atau tidak pernah dijumpai ajaran agama samawi.
Secara umum ada 3 pendapat dari kalangan ulama ahlus Sunnah mengenai nasib ahli fatrah, yaitu sebagai berikut:
a. Pendapat pertama berasal dari ulama asya'iroh, pengikut imam Abu al Hasan al Asy'ari.
Menurut mereka, semua ahli fatroh tidak akan disiksa di neraka, karena salah satu prinsip mereka menyebutkan 'tidak ada taklif sebelum ada risalah', baik akidah maupun furu'iyyah. Dalil mereka adalah Q.S al Isra: 15. Mereka juga menolak hadits ketika Rasulullah Saw ditanyai mengenai nasib leluhur sahabat beliau, yang dijawab dengan "di neraka". Alasannya, hadits tersebut merupakan hadits ahad, yang bersifat zhanniy, tidak bisa mengkhususkan pemahaman umum yang diperoleh dari dalil pasti (qoth'i).
b. Pendapat kedua dari pengikut imam Abu Manshur al Maturidi.
Pendapat mereka menyebutkan, ahli fatroh masih diwajibkan untuk mengetahui dan meyakini eksisitensi Pencipta. Sebab akal memiliki potensi menjangkau pengetahuan tentang adanya Pencipta alam semesta. Namun khusus dalam hal ini saja, tidak lebih.
c. Pendapat ketiga diambil dari tafsir Munir Q.S. al-Isra: 15 karangan imam Nawawi.
Beliau menyebutkan, ahli fatroh bisa diklasifikasikan menjadi 13 golongan, dimana 6 diantaranya masuk surga, 4 di neraka dan sisanya berada dibawah kehendak Allah/tidak dapat dipastikan. Golongan yang pertama (yang masuk surga) secara garis besar adalah mereka yang mengesakan Allah, baik melalui intuisi, menelaah kitab - kitab nabi atau mengikuti ajaran kebenaran umat terdahulu. Golongan kedua, yang dihukumi kafir, adalah penganut atheisme ataupun politheisme dengan jalan taklid (hanya mengikuti warisan leluhur tanpa didasari pengetahuan) dan atheis yang sebelumnya sempat mengakui adanya Tuhan, namun pilihan mereka menjadi atheis dilakukan tanpa memaksimalkan potensi nalar atau bahkan menolak kebenaran yang sebenarnya telah diketahuinya. Dan golongan terakhir diisi oleh mereka yang tidak mengakui adanya Pencipta, yang disebabkan kemampuan penalaran mereka yang lemah. Juga kaum politheis, tetapi keyakinan mereka ini diperoleh melalui proses penalaran, hanya saja mereka melakukan kekeliruan pada proses ini.
Setelah kita mengetahui masa dan tempat dimana Aristoteles hidup, sebagaimana disebutkan diatas, yaitu pada abad ke IV SM di Yunani, dan mengetahui pendapat para ulama mengenai ahli fatroh, sekarang kita bertanya: Apakah Aristoteles ini termasuk ahli fatroh atau tidak, jika dilihat dari masa dan tempat ia hidup tersebut? Jika tidak, atas dasar apa kita berani memastikan mereka bukan ahli fatrah? Dan ketika tidak ada dalil pasti yang menunjukkan hal ini, berarti masih ada kemungkinan bahwa mereka termasuk ahli fatroh yang tentunya membuat permasalahnnya menjadi berbeda. Dan seandainya harus disepakati bahwa mereka ahli fatroh, maka menurut pendapat asy'ariyyah, secara mutlak mereka tidak bisa dikafirkan. Menurut pendapat Maturidi, hanya aliran materialis yang bisa dikafirkan, tidak dengan 2 aliran lainnya, yang didalamnya termasuk Aistoteles. Dan terakhir saat harus mengikuti pendapat An-Nawawi, juga sulit untuk mengkafirkan mereka, dengan alasan filosof Yunani, didalamnya termasuk Aristoteles, selalu mendasari setiap keyakinan mereka melalui proses penalaran yang radikal. Oleh karena itu kita mungkin hanya bisa memasukannya pada golongan ketiga, yaitu menyerahkannya di bawah kehendak Allah swt[36].
2. Masalah penggunaan akal oleh Aristoteles
Sebagaimana diketahui bahwa Aristoteles telah menggunakan akalnya dalam memformulasikan pemikiran metafisikanya tersebut. Penggunaan akal dalam masalah metafisika ini perlu dilihat dari sudut pandang al-Qur’an, hadits dan pendapat para ulama Islam, sehingga kita bisa mengetahui tentang boleh tidaknya bersandar kepada kesadaran akal dalam berkeyakinan terhadap hal-hal metafisis, khususnya Allah swt dan hari akhir.
Kata 'aqli secara bahasa berasal dari kata bahasa Arab (عقل): akal yang mempunyai beberapa makna, di antaranya: (الدية): denda, (الحكمة): kebijakan, dan (حسن التصرف): tindakan yang baik atau tepat[37].
Secara istilah akal memiliki beberapa definisi diantaranya:
1. Cahaya nurani, yang dengannya jiwa bisa mengetahui perkara-perkara yang penting dan fitrah[38].
2. Aksioma-aksioma rasional dan pengetahuan-pengetahuan dasar yang ada pada setiap manusia.
3. Kesiapan bawaan yang bersifat instinktif dan kemampuan yang matang.
Akal merupakan indera yang diciptakan oleh oleh Allah swt dengan kelebihan diberikannya muatan tertentu berupa kesiapan dan kemampuan yang dapat melahirkan sejumlah aktivitas pemikiran yang berguna bagi kehidupan manusia yang telah dimuliakan Allah swt[39], sebagaimana dalam firman-Nya: "Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkat mereka di daratan dan di lautan". (Q.S. Al-Israa’ [17]: 70)
Oleh karena itu, syari’at Islam telah memberikan nilai dan urgensi yang amat tinggi terhadap akal manusia, sebagaimana dapat dilihat pada beberapa point berikut ini:
1. Allah swt mengkhususkan penyampain kalam-Nya hanya kepada orang yang berakal, karena hanya mereka yang dapat memahami agama dan syariat-Nya[40]. Allah swt berfirman: "…dan merupakan peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal". (Q.S. Shaad [38]: 43)
2. Syarat utama yang harus ada dalam diri manusia untuk dapat menerima taklif (beban kewajiban) dari Allah swt yang berkenaan dengan hukum-hukum syari’at Islam adalah akal. Oleh karena itu ketika ia kehilangan akalnya dikarenakan gila misalnya, maka ia tidak tidak menerima taklif itu[41]. Rasulullah saw bersabda: "Pena (catatan pahala dan dosa) diangkat (dibebaskan) dari tiga golongan; orang yang tidur sampai bangun, anak kecil sampai bermimpi, orang gila sampai ia kembali sadar (berakal)"[42].
3. Allah swt mencela orang yang tidak menggunakan akalnya. Misalnya celaan Allah terhadap ahli Neraka yang tidak menggunakan akalnya[43]. Allah swt berfirman: "Dan mereka berkata: "Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni Neraka yang menyala-nyala". (Q.S. Al-Mulk [67]: 10)
4. Banyak disebutkan di dalam al-Qur-an mengenai anjuran-anjuran Allah kepada manusia agar mempergunakan akalnya untuk berfikir, seperti: tadabbur, tafakkur, ta-aqqul dan lainnya. Diantaranya seperti kalimat: لعلكم تتفكرون (mudah-mudahan kamu berfikir), أفلا تعقلون(apakah kamu tidak berakal) dan أفلا يتدبرون القرآن (apakah mereka tidak mentadabburi/merenungi isi kandungan al-Qur'an), dan lainnya[44].
5. Islam mencela hal-hal yang dapat membatasi dan melumpuhkan fungsi dan kerja akal, seperti taqlid buta yang hanya menerima pendapat orang lain tanpa dilandasi oleh dalil[45].
Lebih lanjut jumhur ulama Islam memberikan gambaran umum mengenai kedudukan akal di dalam agama Islam apabila bertentangan dengan syari’at Islam dalam bidang tauhid (metafisika) adalah sebagai berikut[46]:
1. Naqli didahulukan atas 'aqli, karena naqli itu ma’shum sedang 'aqli tidak ma’shum.
2. Akal mempunyai kemampuan mengenal dan memahami yang bersifat global, tidak bersifat detail.
3. Apa yang benar dari hukum-hukum akal pasti tidak bertentangan dengan naqli.
4. Apa yang salah dari pemikiran akal adalah apa yang bertentangan dengan naqli.
5. Penentuan hukum-hukum tafshiliyah (terinci seperti wajib, haram dan seterusnya) adalah hak prerogatif syari'at (naqli).
6. Akal tidak dapat menentukan hukum tertentu atas sesuatu sebelum datangnya wahyu, walaupun secara umum ia dapat mengenal dan memahami yang baik dan buruk.
7. Balasan atas pahala dan dosa ditentukan oleh naqli. Allah swt berfirman: "Kami tidak akan meng‘adzab sehingga Kami mengutus seorang Rasul". (Q.S. Al-Israa' [17]: 15)
8. Janji Surga dan ancaman Neraka sepenuhnya ditentukan oleh naqli.
Tidak ada kewajiban tertentu terhadap Allah swt yang ditentukan oleh akal kita kepada-Nya, karena Allah swt mengatakan tentang diri-Nya: "Maha Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya". (Q.S. Al-Buruuj [85]: 16)
Setelah kita mengetahui kedudukan akal dalam Islam yang tinggi tersebut, sekarang kita bertanya: Proporsionalkan apabila kita menyalahkan metode berfikir/manhaj Aristoteles yang bersandar kepada akal sebagai alat memahami hal-hal metafisis? Jika itu dipandang proposional, atas dasar apa kita menyalahkan metodenya tersebut, sedangkan akal diberikan tempat yang tinggi di dalam agama Islam, dan para jumhur ulama menyatakan bahwa apa yang benar dari hukum-hukum akal pasti tidak bertentangan dengan naqli dan secara umum akal dapat mengenal dan memahami yang baik dan buruk?
3. Masalah pemikiran metafisika Aristoteles
Setelah kita mengetahui mengenai tidak adanya bukti-bukti kuat bahwa Aristoteles bukan termasuk ahli fatrah sehingga kita sulit atau tidak berhak mengkafirkannya, dan bahwa metode yang ia pergunakan, yaitu mendasarkan pemikirannya hanya pada akal, tidak bisa dipandang sangat bertentangan dengan syari’at Islam, maka pada masalah ketiga ini kita dituntut untuk meneliti pemikiran metafisika Aristoteles dan menentukan mana yang tidak bertentangan dengan akidah Islam dan mana yang bertentangan dengannya, tanpa harus memponis bahwa seluruh pemikirannya tersebut bertentangan dengan akidah Islam.
Dalam hal ini Imam al-Ghazali ketika membahas mengenai kekeliruan keyakinan para filosof secara umum, termasuk filosof Islam, didalam kitabnya “Al-Munqidz Min Adh-Dhalal” menyebutkan bahwa ada 3 kekeliruan dalam keyakinan filosof yang menjatuhkan mereka pada jurang kekufuran, yaitu: penolakan mereka terhadap adanya kebangkitan jasmani karena yang ada hanyalah kebangkitan ruhani di akhirat nanti; pandangan bahwa Allah hanya mengetahui hal-hal besar yang bersifat universal dan tidak mengetahui fenomena kejadian-kejadian alam yang kecil-kecil; dan pendirian bahwa alam ini kekal adanya karena berasal dari yang kekal abadi[47].
Pendapat Imam al-Ghazali tersebut apabila dikerucutkan kepada pemikiran metafisika Aristoteles saja seperti tersebut diatas, maka sejauh pemakalah ketahui secara umum ada tiga masalah yang sangat bertentangan dengan akidah Islam, yaitu: petama, “Tuhan sebagai "Penggerak pertama" tidak mengenal dan mencintai sesuatu yang lain dari pada diri-Nya sendiri. Karena seandainya Tuhan sampai mengenal dan mencintai dunia (sebagai objek), Dia harus mempunyai potensi juga. Jika demikian halnya, Dia bukan lagi aktus murni”. Kedua, “Dia adalah "yang ada" yang… tidak menciptakan alam semesta; akan tetapi menggerakannya seperti pecinta menggerakan orang yang dicintainya dan seperti hasrat atau keinginan menggerakan beberapa perkara. Ketiga, “Alam semesta itu ada qadiim (tidak mempunyai permulaan) dan akan ada selamanya (kekal)”.
Maka dari 3 masalah yang disebutkan oleh Imam al-Ghazali tersebut, mungkin hanya masalah “tidak mengakui kebangkitan jasad” saja yang tidak disinggung oleh Aristoteles di dalam pemikiran metafisikanya tersebut, karena 2 masalah lainnya bisa dikatakan tidak jauh berbeda dengan 3 masalah yang pemakalah sebutkan diatas.
Diantara dalil-dalil al-Qur’an yang menunjukan bahwa Allah swt Maha Mengenal (Mengetahui) atas segala sesuatu yang ada di langit dan dibumi adalah firmannya di dalam Q.S Al-Baqarah [2]: 231: “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu”, dan Q.S Al-Maaidah [5]: 97: “Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan bahwa sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” dan Q.S Saba’ [34]: 3: “Tidak ada tersembunyi daripada-Nya sebesar zarrahpun yang ada di langit dan yang ada di bumi dan tidak ada (pula) yang lebih kecil dari itu dan yang lebih besar, melainkan tersebut dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)”. Sedangkan mengenai dalil-dalil al-Qur’an yang menunjukan bahwa Allah swt mencintai sesuatu yang lain (makhluk-Nya) sesuai dengan kehendak dan ketentuan-Nya adalah firmannya misalnya di dalam Q.S At-Taubah [9]: 7: “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa”, dan Q.S Al-Hujuraat [49]: 9: “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil”.
Adapun diantara dalil-dalil al-Qur’an yang menunjukan bahwa Allah swt yang telah menciptakan alam semesta dan segala sesuatu yang ada di langit dan dibumi, yang berarti bahwa alam semesta itu tidak qodim adalah firmannya di dalam Q.S Al-An’aam [6]: 1: “Segala puji bagi Allah Yang telah menciptakan langit dan bumi dan mengadakan gelap dan terang” dan Q.S Al-Furqaan [25]: 59: “Yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dalam enam masa", dan Q.S Yaasiin [36]: 81: “Dan tidaklah Tuhan yang menciptakan langit dan bumi itu berkuasa menciptakan yang serupa dengan itu? Benar, Dia berkuasa. Dan Dialah Maha Pencipta lagi Maha Mengetahui”. Sedangkan diantara dalil-dalil al-Qur’an yang menunjukan bahwa alam semesta itu tidak kekal, yang berarti akan binasa adalah firmannya di dalam Q.S Al-Qashash [28]: 88: “Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah” dan Q.S Ar-Rahmaan [55]: 26-27: “Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan”.
Penutup
Aristoteles adalah salah satu filsuf Yunani yang paling berpengaruh terhadap perkembangan filsafat sehingga ia dikenal di kalangan cendikiawan Islam sebagai si Guru Pertama (al-Mu'allim al-Awwal). Salah satu gagasan yang ia kemukakan di dalam bidang filsafat ini adalah tentang "Metafisika", yaitu ilmu yang mempelajari mengenai "yang ada" sebagai "yang ada", dan merupakan ilmu pengetahuan yang mencari prinsip-prinsip fundamental dan penyebab-penyebab pertama, juga merupakan ilmu tertinggi yang mempunyai obyek paling luhur dan sempurna dan menjadi landasan bagi seluruh adaan. Salah satu fokus utama filsafat metafisikanya tersebut adalah tentang “Penggerak pertama” atau Actus Purus, aktus murni (Tuhan) yang kuasanya tak terhingga dan kekal dan yang menyebabkan gerak abadi, yang sendiri tidak digerakan, karena bebas dari materi.
Ketika filsafat metafisikanya tersebut masuk ke duania Islam, muncul berbagai tanggapan yang berbeda-beda dan banyak menimbulkan perdebatan dan kajian yang panjang di kalangan ulama-ulama Islam yang secara turun temurun, yang secara umum terbagi kedalam 3 kelompok, yaitu: Kelompok yang menanggapi filsafat metafisikanya secara antusias, sehingga mereka mewajibkan mempelajarinya; kelompok yang menanggapinya dengan rasa gembira dan membolehkan mempelajarinya; dan kelompok yang menanggapinya dengan kritis sehingga mengharamkan mempelajarinya.
Dari filsafat metafisika Aristoteles tersebut, ada 3 masalah yang perlu di identifikasi secara mendalam dan proporsional dan dikaitkan dengan keterangan al-Qur'an, hadits dan pendapat para ulama Islam, sehingga setelah itu kita dapat mendudukan Aristoteles secara proporsional, yaitu: masalah penelusuran masa dan tempat dimana Aristoteles hidup dan mengaitkannya dengan pendapat para ulama Islam tentang ahli fatroh; masalah penggunaan akal dalam masalah metafisika dengan melihat sudut pandang al-Qur’an, hadits dan pendapat para ulama Islam; masalah ketiga yaitu mengenai penelitian filsafat metafisika Aristoteles dan mengaitkannya dengan akidah Islam, sehingga dari itu semua kita bisa menentukan mana yang tidak bertentangan dengan akidah Islam dan mana yang bertentangan dengannya, tanpa harus memponis bahwa seluruh pemikiran dan metodenya tersebut bertentangan dengan ajaran Islam, juga menyerahkan kepada kehendak Allah swt mengenai kafir tidaknya dia.
Wallahu a’lam bi as-shawab.
Daftar Pustaka
Abdullah, M. Amin. Falsafah Kalam Di Era Postmodernisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1995).
Abdullah, Prof. Dr. Muhammad Fathi. dan Dr. 'Ala Abdul Muta'al, Dirasat Fi al-Falsafah al-Yunaniah (Thantha: Dar al-Hadharah. tt).
Adian, Donny Gahral. Matinya Metafisika Barat (Jakarta: Komunitas Bambu. 2001).
al-Buraikan, Dr. Ibrahim bin Muhammad. Al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidatil Islamiyyah ‘ala Madzhab Ahlis Sunnah wal Jama’ah (t.pn: Daarus Sunnah. 1414 H).
Al-Ghazali, Imam. Al-Munqidz Min Adh-Dhalal (Beirut: Al-Maktabah Ats-Tsaqafiah. tt).
Al-Musawi, Dr. Musa. Min al-Kindi Ila Ibnu Rusyd (Beirut: Mansyuuraat 'Uwaidaat. 1989).
Amin, Ahmad. dan Mahmud, Zaki Najib. Qishshah al-Falsafah al-Yunaniah (Al-Qahirah: Dar al-Kutub al-Mishriyah. 1935), cet II.
Bakar, Osman. Hiererki Ilmu Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu (Bandung: Mizan. 1997).
Bertens, Kees. Sejarah Filsafat Yunani (Yogyakarta: Kanisius. 1988).
Cahyadi, Simon Petrus L. Petualangan Intelektual (Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 2004).
Durant, Will. Qishshah al-Falsafah, terj. Fathullah Muhammad (Beirut: Maktabah al-Ma'arif. 1988), cet VI.
Fakhry, Majid. Sejarah Filsafat Islam, terj. R. Mulyadi Kartanegara (Jakarta: Pustaka Jaya. 1986).
Hadiwijono, Dr. Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 1 (Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 2012), cet XXVII.
http://a2i3s-c0ol.blogspot.com, Hubungan Filsafat Islam dengan Filsafat Yunani, 6 Januari 2009.
http://ahmadasrafi.blogspot.com, Sokrates, Plato, Aristoteles Kafirkah?, 18 Oktober 2010.
http://fatwasyafii.wordpress.com, Asal Muasal Ilmu Kalam Terbesar di Ummat Islam, 10 November 2009.
http://memancar.blogspot.com, Realisme Aristoteles, 01 Maret 2009.
http://myquran.org, Kebencian Para Ulama Wahabi Terhadap Logika, 21 Januari 2012.
http://thedarkancokullujaba.blogspot.com, tj, 19 Januari 2011.
Imam, Prof. Dr. Imam Abdulfatah. Madkhal Ila al- Metafisika (Qahirah: Nahdlah Mishr. 2009), cet III.
Jam'un Kabirun Min al-Ulama, Al-Mausu'ah al-Arabiah al-'Alamiah, At-Tib'ah al-Elektroniah, Materi: Aresto.
Jawas, Yazid bin Abdul Qadir. Dalil ‘Aqli Yang Benar Akan Sesuai Dengan Dalil Naqli Yang Shahih (terj), www.al-manhaj.or.id.
Marhaba, Dr. Muhammad Abdurrahman. Ma'a al-Falsafah al-Yunaniyah (Bairut: Mansyurat 'Uwaidat. 1988), cet III.
Mathar, Dr. Amirah Hilmi. Al-Falsafah al-Yunaniah: Tarikhuha Wa Musykilatuha (Al-Qahirah: Dar Quba Littiba'ah Wa an-Nasyr. 1998).
Nasution, Harun. "Pertemuan Filsafat dan Tasawuf dalam Peradaban Islam" dalam Saiful Muzani (Ed), Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution (Bandung: Mizan. 1996).
Nasution, Harun. "Tinjauan Filosofis Tentang Pembentukan Kebudayaan dalam Islam" dalam Abdul Basir Solissa (Ed), Al-Qur'an dan Pembinaan Budaya Dialog dan Transformasi (Yogyakarta: LSFI. 1993).
Nasution, Harun. Akal dan Wahyu Dalam Islam (Jakarta: UI Press. 1986).
Qadir, C. A. Filsafat dan Pengetahuan dalam Islam, terj. ( Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 1991).
Qashaab, 'Isham. Al-Bahtsu 'An al-Haqiqah al-Kubra (Damsyiq: Dar al-Fikr. 2008), cet. VI.
Raqib, Dr. Shaleh. Al-Falsafah al-Yunaniyah Wa al-Islamiyah, al-Maktabah asy-Syamilah.
Siddik, Abdullah. Islam dan Filsafat (Jakarta: Triputra Masa. 1984).
Watt, William Montgomery. Sikap Islam Terhadap Filsafat Yunani, terj. Zaimudin, http://media.isnet.org.
www.balaghah.net, Nilai Intelektual Filosofis Dalam Kajian Metafisis, tt.
www.nurulilmi.com/maudhui/manhaj, Ilmu Kalam dan Filsafat, tt.
[1] Simon Petrus L. Cahyadi, Petualangan Intelektual (Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 2004), hal. 65.
[2] Will Durant, Qishshah al-Falsafah, Terj. Fathullah Muhammad (Beirut: Maktabah al-Ma'arif. 1988), cet. VI, hal. 67.
[3] Jam'un Kabirun Min al-Ulama, Al-Mausu'ah al-Arabiah al-'Alamiah, At-Tib'ah al-Elektroniah, Materi: Aresto.
[4] Ahmad Amin dan Zaki Najib Mahmud, Qishshah al-Falsafah al-Yunaniah (Al-Qahirah: Dar al-Kutub al-Mishriyah. 1935), cet II, hal. 214.
[5] Dr. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 1 (Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 2012), cet. XXVII, hal. 45.
[6] Prof. Dr. Muhammad Fathi Abdullah dan Dr. 'Ala Abdul Muta'al, Dirasat Fi al-Falsafah al-Yunaniah (Thantha: Dar al-Hadharah. tt), hal. 168.
[7] Dr. Amirah Hilmi Mathar, Al-Falsafah al-Yunaniah: Tarikhuha Wa Musykilatuha (Al-Qahirah: Dar Quba Littiba'ah Wa an-Nasyr. 1998), hal. 259-260.
[8] Dr. Muhammad Abdurrahman Marhaba, Ma'a al-Falsafah al-Yunaniyah (Bairut: Mansyurat 'Uwaidat. 1988), cet. III, hal. 187.
[9] Kees Bertens, Sejarah Filsafat Yunani (Yogyakarta: Kanisius. 1988), hal. 154.
[10] Donny Gahral Adian, Matinya Metafisika Barat (Jakarta: Komunitas Bambu. 2001), hal. 6.
[11] Osman Bakar, Hiererki Ilmu Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu (Bandung: Mizan. 1997), hal. 120.
[12] Dr. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 1, op. cit., hal. 48-49.
[13] Ibid, hal. 49-50.
[14]http://memancar.blogspot.com, Realisme Aristoteles, 01 Maret 2009.
[15] Dr. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 1, op. cit., hal. 50-51.
[16]http://memancar.blogspot.com, op. cit..
[17] Prof. Dr. Imam Abdulfatah Imam, Madkhal Ila al- Metafisika (Qahirah: Nahdlah Mishr. 2009), cet. III, hal. 117.
[18] Dr. Muhammad Abdurrahman Marhaba, Ma'a al-Falsaf al-Yunaniyah, op. cit., hal. 199.
[19] 'Isham Qashaab, Al-Bahtsu 'An al-Haqiqah al-Kubra (Damsyiq: Dar al-Fikr. 2008), cet. VI, hal. 156.
[20] Dr. Muhammad Abdurrahman Marhaba, Ma'a al-Falsaf al-Yunaniyah, op. cit., hal. 196-197.
[21] Dr. Shaleh Raqib, Al-Falsafah al-Yunaniyah Wa al-Islamiyah, al-Maktabah asy-Syamilah, hal. 50.
[22] Harun Nasution, "Tinjauan Filosofis Tentang Pembentukan Kebudayaan dalam Islam" dalam Abdul Basir Solissa (Ed), Al-Qur'an dan Pembinaan Budaya Dialog dan Transformasi (Yogyakarta: LSFI. 1993), h. 23.
[23] Harun Nasution, Akal dan Wahyu Dalam Islam (Jakarta: UI Press. 1986), h. 83.
[24] Abdullah Siddik, Islam dan Filsafat (Jakarta: Triputra Masa. 1984), h. 90.
[25] Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, terj. R. Mulyadi Kartanegara (Jakarta: Pustaka Jaya. 1986), h. 13.
[26] C. A Qadir, Filsafat dan Pengetahuan dalam Islam, terj. ( Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 1991), h. 84.
[27] Dr. Musa al-Musawi, Min al-Kindi Ila Ibnu Rusyd (Beirut: Mansyuuraat 'Uwaidaat. 1989), cet. 4, hal. 62.
[28] M. Amin Abdullah, Falsafah Kalam Di Era Postmodernisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1995), h. 151.
[29]http://thedarkancokullujaba.blogspot.com, 19 Januari 2011.
[30] William Montgomery Watt, Sikap Islam Terhadap Filsafat Yunani, terj. Zaimudin, http://media.isnet.org.
[31]http://a2i3s-c0ol.blogspot.com, Hubungan Filsafat Islam dengan Filsafat Yunani, 6 Januari 2009.
[32]http://fatwasyafii.wordpress.com, Asal Muasal Ilmu Kalam Terbesar di Ummat Islam, 10 November 2009.
[33] Harun Nasution, "Pertemuan Filsafat dan Tasawuf dalam Peradaban Islam" dalam Saiful Muzani (Ed), Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution (Bandung: Mizan. 1996), h. 354. http://myquran.org, Kebencian Para Ulama Wahabi Terhadap Logika, 21 Januari 2012.
[34]www.nurulilmi.com/maudhui/manhaj, Ilmu Kalam dan Filsafat. www.balaghah.net, Nilai Intelektual Filosofis Dalam Kajian Metafisis.
[35] Imam Al-Ghazali, Al-Munqidz Min Adh-Dhalal (Beirut: Al-Maktabah Ats-Tsaqafiah. tt), h. 18-20.
[36]http://ahmadasrafi.blogspot.com, Sokrates, Plato, Aristoteles Kafirkah?, 18 Oktober 2010.
[37] Dr. Ibrahim bin Muhammad al-Buraikan, Al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidatil Islamiyyah ‘ala Madzhab Ahlis Sunnah wal Jama’ah (t.pn: Daarus Sunnah. 1414 H), cet. II, hal. 40.
[38] Muhammad Amaan Bin Ali Al-Jaamii, Al-'aqlu Wa An-Naqlu 'Inda Ibni Rusydi, op. cit., hal. 3.
[39] Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Dalil ‘Aqli Yang Benar Akan Sesuai Dengan Dalil Naqli Yang Shahih (terj), www.al-manhaj.or.id.
[40] Dr. Ibrahim bin Muhammad al-Buraikan, Al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidatil Islamiyyah ‘ala Madzhab Ahlis Sunnah wal Jama’ah, op. cit., hal. 40.
[41] Ibid.
[42] HR. Abu Dawud (no. 4403), Shahiih Sunan Abi Dawud (III/832 no. 3703).
[43] Dr. Ibrahim bin Muhammad al-Buraikan, Al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidatil Islamiyyah, op. cit., hal. 41.
[44] Ibid.
[45] Yazid bin Abdul Qadir Jawas, op.cit., www.al-manhaj.or.id.
[46] Dr. Ibrahim bin Muhammad al-Buraikan, Al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidatil Islamiyyah ‘ala Madzhab Ahlis Sunnah wal Jama’ah, op. cit., hal. 45.
[47] Imam Al-Ghazali, Al-Munqidz Min Adh-Dhalal, op.cit, h. 28.
You're very welcome... 🙏
ReplyDelete